Pertama kaliberkenalan dengan Ari, saya tak tahu nama belakangnya. Ari, Ari saja. Kuliahapa dan di mana, tinggal di mana.
Kok bisa?
Nah, saya juga heran. Saya coba ingat-ingat lagi kegiatan kami di pertemuan-pertemuan awal.Karena kami memang amat sangat jarang mengobrol. Mungkin kalau dikumpul-kumpul,dikorek sampai ke keraknya, percakapan kami selama dua, tiga tahun pertama, pastitidak mencapai dua jam. Menurut saya, Ari cuma ‘menyala’ kalau membahas lagu,aransemen, sound…. Sementara saya, yatahu sendiri kan, saya buta lagu. Jadi saya merasa tidak pernah siap memulaipercakapan tentang lagu. Kalau diingat-ingat lagi, saat itu energi saya habisuntuk mempelajari lagu yang diajukan oleh Pada masa awal duet kami, energi sayalebih banyak terpakai untuk mempelajari lagu yang diajukan oleh Yando, Zeffry,Selly ‘Ncesz’ Riawanti, Ace, Toha, Donny dan tentu saja Ari. Saya masih ingat betul, setiap kali Ncesz mulai duduk manis di depankami, menyalakan rokok Lucky Strike-nya yang tanpa filter itu, dan mata agaktertutup sedikit (duh gaya banget!), saya pasti deg-degan. Karena setelahadegan itu, ia akan bilang, “Kayaknya asyik deh kalau eloe berdua bawainlagu…..”
Meski suka main lempar usul lagu –banyak yang tak pernahsaya dengar aslinya hingga tahun 2000-an, setelah Google menyediakansegala—teman-teman itu cukup bertanggung jawab. Hampir selalu mereka jugamenyertakan liriknya.Tak main lempar judul lagu. Kalaupun hanya menyediakan kaset, dari awalsaya sudah diberi kalimat pengaman, “Loe puter-puter aje. Gue rela kalaukasetnya jadi ngegeleong….”
Dan Ari adalah…..
Ah, iya kembali ke soal Ari.
Hal pertama yang saya catat dari Ari adalah bicaranya: supercepat. Sejak pertama kenal, hampir selalu saya tak bisa menangkap dengan baik kalimatyang ia sampaikan. Super ngebut, brebet, dan tiba-tiba sudah selesai lalu iamenunggu jawaban saya. Eh, memang tadi dia tanya apa ya? Kok kedengaran lebihmirip pernyataan ketimbang pertanyaan. Suka tak suka, mau tak mau, hampir setiap kali saya akan bertanya ulang,“Apa, Ri?” atau “Eh, tadi ngomong apa, Ri?”
Saya yakin, saat itu Ari berpikir ada gangguan hebat dikuping saya ini, sehingga setiap kali ia bicara pasti saya tanya balik, dan diaharus mengulang kalimatnya. Selain bicara,Ari juga berjalan dengan cepat. Jadi,kalau kami latihan di rumah saya, yang saat itu jaraknya tak sampai 500 meterdari Kampus UI Rawamangun, saya pasti agak setengah berlari mengikutilangkahnya. Dan sudah dalam keadaansetengah berlari itu, saya masih harus menyimak omongannya yang serba cepat danbrebet-brebet itu. Ah, terserah dehnanti pas sampai di rumah saya tanya ulang dia tadi cerita apa. Maaf ya….
Oya, Ari itu paduan Makassar dan Tegal.
Kata Mas Aji –AGS Arya Dipayana almarhum- logat Ari sangatjelas terdengar kalau ia bicara dalam kalimat panjang-panjang. Belakangan,pacar yang kemudian jadi suami saya juga berkomentar sama. Oh ya? Wah saya koktidak menangkap itu. Mungkin logat khasitu hanya bisa ditangkap oleh sesama kelahiran Jawa (Mas Aji dan suamisama-sama asal Jawa).
Dari namanya, saya tahu dia anak kedua.
Punya kakak dan adik.
Tempat tinggal: Tebet. Mungkin kalau ada pemilihan penghunipaling setia, Ari bisa menang. Karena sejak kenalan, dia memilih kost di Tebet,Tebet dan Tebet. Alamat memang pindah-pindah, tapi tetap saja tak pernah lepasdari Tebet: Tebet Timur, Barat, Selatan, Utara, Tengah, Ujung, Belakang, Depan…Pokoknya Tebet. Mungkin dulu pacarnya tinggal di Tebet juga. Mungkin, lho. Eh, sebentar….kokbisa-bisanya saya lupa menanyakan soalyang satu itu? Ari baru melepaskan diridari wilayah Tebet dari sana setelah menikah. Sekarang ia jadi wargaPamulang.
Ari kuliah di mana?
Nah, ini dia yang selalu jadi pertanyaan banyak orang, dankami punya banyak jawaban untuk itu. Ketika pertama kali kenalan, saya mengiraAri termasuk keluarga Antropologi UI. Habis tidak pernah lepas dari teman-temanAntrop. Ternyata bukan. FISIP, FHUI, FPsiUI? Bukan semua. Bahkan bukan UI. Laludari mana?
Jaman kami baru nyanyi-nyanyi itu, Ari sudah masuk persiapanmenyusun skripsi di APP, Akademi Pimpinan Perusahaan –yang kalau tidak salahberlokasi di Srengseng. Saya tidak pernah tahu ada Sekolah Tinggi yanglulusannya bisa jadi pemimpin perusahaan sampai hari itu. Skripsinya membahaspentingnya maintenance dalam menjagakesehatan perusahaan. Hmmm, heran juga saya bisa ingat sampai sekarang, mungkinkarena katamaintenance itu, yangbaru saya tahu artinya lewat penjelasan Ari pada suatu ketika. Tetapi hinggaakhir masa kuliah kami berdua di universitas masing-masing, setiap kali main diUI, Ari selalu diperkenalkan sebagai anak UI juga. Kalau main di FISIP, makaAri menjadi anak Sastra. Kalau main di Sastra, ya Ari jadi anak FISIP. Atau FHUI. Ya, diputar-putar sajalah.
Awalnya, saya main gampang saja, kalau main di SastraPrancis, maka Ari jadi mahasiswa sastra Jepang atau China. Ternyata upaya initak berlangsung lama, karena pada suatu hari, dosen saya –dari jurusan Prancis-memanggil saya dan bertanya dengan serius, “Eh, Reda…. Partner duet kamu itusudah semester berapa di Jurusan Jepang? Kok saya tanya Pak Ketut dia nggakkenal Ari, ya?” Waaks! Sejak hari itu, kami memutuskan untuk memutar status Aridi jalur Fakultas saja. Jurusannya? Ah, biar mereka rasa-rasa sendiri saja manayang pas buat teman satu ini.
Soal Latihan
Yang paling ribet dari urusan latihan adalah membuat janjikapan waktu yang tepat untuk latihan. Meski hampir setiap hari bisa mampir kepojok Teater Sastra, bukan berarti setiap hari dan setiap saat Ari siap latihan.Sementara di tahun-tahun pertama, saya kan sok rajin dan patuh dan disiplinikut kuliah. Nggak berani bolos (soalnya dosen-dosennya kenal Mak saya! Kalau sampai ngadu ke Mak, bagaimana?).
Waktu latihan selalu –HARUS- dengan perjanjian. Kapan dan dimana. Kami hanya latihan kalau dapat order main dari Pepeng. Telepon genggammodel apa pun belum lahir di jaman itu. Adanya telepon umum, yangsering menelan koin tapi enggan menyambungkan pembicaraan. Di rumah saya, waktuitu, tidak ada telepon juga. Rumah kost Ari ada telepon, tapi yang dituju takpernah ada di rumah. Jadi kalau telepon pun yang menjawab selalu Tante Kost(namanya siapa ya?), yang selalu berjanji akan menyampaikan kepada Ari bila iapulang nanti. Yaitu….. kapan, tepatnya? Metode paling pas untuk bertemuternyata sangat sederhana: kami titip pesan pada teman-teman. Orang yang palingsering saya ‘manfaatkan’ sebagai kurir pesan adalah Ace Ursulus Diafmart, karena di mana ada Ace, hampir selalu ada Ari juga. Supaya aman –seandainya Ace sempat tak bersama Ari- pesan sayasangkutkan juga pada Yando Zakaria.
Begitu hari yang dijanjikan tiba,sejak masuk ke area Taman Sastra saya pasti menerima pesan bertubi-tubi, “Ari sudahdatang, tuh. Ada di Bonbin*).” Atau, “Kata Ari dia datang agak siang….” Atau“Latihannya sore-sorean aja.” Hebatnya lagi, yang menyampaikan kabar itu bukanAce atau Yando saja, tapi semua teman: Amalia,Konar, Krisna, Ati Kamil, Donny, Pepeng, Ale, Ato, Gideon, Ncesz… juga Ical (where are you now, Ical?). Semua! Kesulitan saya bertemu dan janjian dengan Aridipahami betul oleh teman-teman tercinta ini, sehingga setiap saat mereka siapmenyampaikan lokasi keberadaan Ari, tak peduli kami adajadwal latihan atau tidak. Sungguhmenyenangkan, meski agak kurang bermanfaat. Karena tanpa jadwal manggung danlatihan, pertemuan kami -paling banyak- diisi dengan dua kata pendek, “Red!” dan sayaakan menjawab, “Ri!” Selesai.
Menurut Yando, kelakuan kami ini terlalu dingin untuk sebuahduet. Ia sempat menduga kami berduabermusuhan. “Eloe berdua nggak adaapa-apa, kan? Nggak berantem, kan?” tanya Yando pada suatu hari. Oh, kamibaik-baik saja, kok. “Terus kenapa nggak akrab gitu, sih?” Hmmm, kenapa ya?Saya juga tidak bisa menjawab. Tapi yang pasti suara kami lumayan akrabkok. Selama itu berlangsung lancar,rasanya semua akan baik-baik saja. Bukan begitu, Ri?
Pada awalnya, kami latihan di kampus, di ruang kecil di samping Bursa Sastra dankantor Tifa Sastra, di pojok Teater Sastra UI. Tempatnya tak terlalu luas, dan cukupnyaman. Ada (bekas) sofa, yang kalau angin sedang bagus, bisa kosong melompong:tak ada yang tiduran di situ. Tapisetelah dua tiga kali latihan di sana, kami merasa perlu mencari tempat latihanlain. Tidak di kampus.
Begini, tempat kecil mungil itu ternyata lebih sering ramaidan padat teman-teman ketimbang sepi. Saking ramainya, menemukan seperempat bangkubuat duduk saja, susah. Lalu, Ari ternyata amat populer. Jadi kalau dia sudahnongkrong di ruang itu, ada saja yang mampir. Ngajak ngobrol. Minta dimainkanlagu ini, itu, nyanyi bareng. Nah, saking sibuknya melayani penggemar, waktulatihan jadi tinggal sedikit. Kadang-kadang bisa tidak latihan sama sekali,karena saya harus ikut kuliah .Sementara buat saya, latihan itu amat sangatpenting, mengingat hubungan saya dengan lagu-lagu pilihan jauh dari harmonis.
Lalu penyebab lainnya, kalau ini sih menurut saya, Ari ituingin memberi ‘kejutan’ pada mereka yang akan nonton nanti. Dan saya rasa inijuga berhubungan erat dengan ketidak-tahuan saya akan lagu pilihan (back to the main issue!). Ya, bisa dimengerti sih. Teman-teman itu bisamalas nonton kalau tahu saya masih rengeng-rengeng untuk sebuah lagu yang sudahsangat mereka kenal. Beneran bisa nggak sih anak ini nyanyi lagu itu? Alih-alihbikin cemas, lebih baik ngumpet dulu, dan baru muncul setelah lancar.
Pilihan pertama tempat latihan, adalah rumah saya yangjaraknya amat sangat dekat dari kampus itu. Bisa ditempuh dengan jalan kaki dan di rumah ada gitar. Dan dia ternyatabisa langsung akrab dengan Mak. Jadi tiap kali datang, pasti ada sesiobrol-obrol antara Ari dan Mak. Tapiiiiiii….. saat itu rumah saya juga dihunioleh 5 ekor anjing. Dan semua merasa perlu untuk sumbang saran dan berperanaktif ketika kami berdua nyanyi. Dengan lolongan yang cukup variatif, merekamenemani kami berlatih. Ari sama sekali tidak keberatan sama sekali. Diakelihatannya sangat menikmati paduan suara dari anjing-anjing peliharaan adikdan bapak saya. Tapi saya yang nggakenak hati dan terganggu dengan suarayang tidak sejalan dengan kunci nada pilihan kami. Sehingga saya usul untuklatihan di tempat lain.
Tapi di mana?
Jawabannya ada di bagian berikut.