Monday, November 24, 2014

AriReda: Pada Mulanya (bg 1)













Ketika membuat tulisan ini, dalam waktu kurang dari seminggu saya akan menyanyi lagi di tanggal 30 November 2014 dengan Ari Malibu. Teman duet saya selama 32 tahun…

Lama banget? Nah, itulah yang jadi pertanyaan saya juga. Kalau sekarang, saya menjawabnya dengan kalimat, “Suara kami cocok, harmonisasi suara bisa berlangsung dengan mudah….” Tetapi kalau itu ditanyakan saat awal duet dulu, maka bisa jadi jawaban saya, “Karena dipaksa sama Pepeng nyanyi bareng. Lagipula nyanyi kan menyenangkan, jadi kenapa nggak?”

Bermula dari ruang sempit di samping Teater FSUI
Saat kuliah, saya baru mengenal kegiatan yang bernama inisiasi. Tujuannya mengenalkan kegiatan perkuliahan di jurusan masing-masing meski pada kenyataannya semacam perpanjangan masa perploncoan. Jurusan saya –Sastra Prancis—selalu kekurangan tenaga penginisiasi, khususnya para mahasiswa. Untuk itu, selalu minta tolong pada kakak-kakak dari jurusan Antropologi dan Arkeologi untuk membantu. Mengikuti tradisi juga, setelah diinisiasi di tahun pertama, di tahun berikutnya angkatan saya kebagian tugas cuci piring dan sapu-sapu. Nah, setelah beres, layaknya batur pada umumnya, saya pun cari hiburan. Tepatnya menghibur diri dengan iseng main gitar di bawah pohon, menghadap kolam renang…. Duh, rasanya seperti ada di pojok Los Angeles, Hollywood mana gitu. Ternyata di belakang saya berdiri sang selebriti: Pepeng. Dengan suara menggelegarnya, dia menegur, “Bisa nyanyi, lo?” Hmmm, kelihatan dan kedengarannya bagaimana? Nyanyi atau ngomel? Lalu dia meneruskan begini, “Ntar abis inisiasi, langsung ke ruang sebelah senat ya. Gue ada urusan sama elo. Awas kalau nggak. Oke?” Urusan? Urusan apa? Kenapa kita punya urusan lagi? Bukankah OSPEK sudah selesai, dan kita sekarang posisinya sejajar. Tak ada lagi kakak senior dan adik junior, bukan? Tapi sudahlah. Pokoknya timbang repot, bilang ya saja dulu. Besok, setelah inisiasi selesai, kita atur lagi…

Inisiasi tamat di hari Minggu. Hari Seninnya, saya berjalan di koridor ruang senat. Tiba-tiba, ada yang berteriak –agak menggelegar- memanggil nama saya. PEPENG! Terpaksa membelok, menemuinya. Tanpa tanya ini itu, dia langsung menyuruh saya duduk di sebelahnya. Di seberangnya duduk seorang mahasiswa lain. Lalu Pepeng bilang, “Ari, ini Reda. Reda ini Ari. Elo berdua kenalan, nanti gue ajak satu orang lagi biar bisa jadi trio. Oke? Abis gue kuliah, gue musti lihat eloe udah nyanyi bareng. Oke? Oke!” Halooooooo! Sinting orang ini: kenalan baru sekarang, sudah disuruh nyanyi-nyanyi. Tetapi –sekali lagi- saya menurut. Ari juga. Berdua kami manggut-manggut. Sampai agak sore, kami menunggu…. Orang ketiga yang membuat kami jadi trio –Kiki Maria—tak kunjung datang.

Nah, dengan cuma ada dua orang ini, apakah kegiatan menyanyi harus terus jalan? Menurut Ari, sebaiknya terus jalan. Tapi mau nyanyi apa? Saya betul-betul tidak punya ide. Bahkan ide untuk memulai percakapan saja, tidak ada. Saya lebih pusing memikirkan kegiatan bikin PR bersama di Taman Sastra. Jadilah kami berdua duduk diam-diam.

Agak siang, Pepeng datang, memeriksa kegiatan kami sudah sampai di mana. Ketika tahu belum ada lagu yang digarap, matanya melotot, seperti mau copot. Ia tidak bisa terima. Harus ada lagu yang bisa didengar dari duo dadakan ini.

Saat itu, saya sungguh menyesal karena lagu yang saya tahu cuma lagu-lagu tua. Terbayang hobi saya meniru suara Cliff Richard di lagu When A Girl In Your Arms. Setengah mati saya mengejar nada terendah Cliff. Atau mati-matian mengikuti cengkoknya Connie Francis di lagu Stupid Cupid, suara malasnya Debbie Harry di lagu Heart of Glass, dan vibrasi Elvis Presley di Are You Lonesome Tonight? Kenapa, oh kenapa? Semua itu tidak bermanfaat di ruang kecil sempit yang penuh dengan kakak-kakak Antrop ini. Dan Ari.

Makin frustrasi ketika Ari menyebutkan nama penyanyi dan lagu-lagu yang ingin kami bawakan. John Denver? Oh, seperti apakah lagu dari Mas John asal Denver ini? Pasti beda kalau namanya berubah jadi John New Orleans….

Pengetahuan lagu saya memang sangat kebangetan kacaunya. Lagu Donna-Donna yang wajib dikuasai semua di masa itu saja saya nggak tahu. Beatles? Saya cuma tahu lagu yang berirama cepat, bisa buat lompat-lompat. Itu pun saya baru saya dengar di pesta perpisahaan SMA. Kacau! Bagaimana saya bisa sampai buta lagu begini? Saya tak mengerti. Mungkin karena saya memang tak pernah konsentrasi untuk nyanyi-nyanyi. Lagu yang lewat di telinga, kalau terasa enak, akan saya ingat melodinya, dan sebaris dua baris liriknya (saya parah banget untuk urusan lirik, suka ngawur dan ngarang-ngarang seenak rasa). Beda dengan adik saya, Grace, yang langsung bisa menangkap lirik dengan tepat.

Kalau dibuat daftar, perbendaharaan lagu saya sebetulnya lumayan. Saya bisa menyanyikan 20 lagu Cliff Richard (hafal karena terpesona oleh kegantengannya), Carpenters, Gilbert O’Sullivan, Koes Plus (hafal semua versi Nusantara-nya dengan lagu favorit Kelelawar), Titiek Sandhora, Lilies Surjani, Connie Francis, Jim Reeves, Francoise Hardy… Beberapa penyanyi baru, saya peroleh karena di asrama, teman-teman rajin memutar lagu asyik-asyik: Blondie, Barry Manillow, Ebiet G. Ade, seri LCLR, Album Badai, Grease, Andi Meriem Mattalata (yang album Bahtera Asmara itu)… Tapi, semua itu tak bermanfaat karena menurut Ari yang terus main gitar selama kami mengobrol, nggak cocok. Sama sekali! Gawat.

Karena merasa terintimidasi dengan deadline yang diberikan Pepeng, akhirnya Ari memutuskan kami menyanyikan lagu Fly Away dari album John (yang bukan dari) Denver. Di situ ada Olivia Newton John yang jadi partner nyanyinya. Tetapi untuk versi AriReda, saya mengambil suara John, dan Ari mengambil suara Olivia. Eh, lumayan juga. Setidaknya buat Pepeng. Matanya tidak melotot. Kepalanya mengangguk-angguk. Fiuh!

Tapi Pepeng mau dua lagu.
Ari –saya rasa saat itu dia sudah putus asa dengan partner nyanyinya ini- mengusulkan saya mencari lagu dari koleksi John Denver, siapa tahu ada yang saya suka dan bisa dinyanyikan. Dan saya menemukan lagu yang saya suka melodinya: How Can I Leave You Again.

Begitu saya sampaikan lagu itu kepada Ari, komentarnya, “Bagus tuh. Tapi nyanyi sendiri ya. Gue mau main sama anak-anak Oplet nih. Gak sempet latihan dua lagu.” Heh? Kok gitu? Tapi sialnya saya suka sekali lagu ini, dan ingin menyanyikannya. Jadi…. Saya nyanyi sendiri pun. Tak mengapa. Saya senang meski potongan kayu tempat kaki saya bertengger nyaris terguling karena grogi hebat. ☺

Menabung Lagu
Setelah acara itu saya bertekad untuk menambah perbendaharaan lagu. Khususnya yang cocok dengan bayangan Ari dan Pepeng tentang duo kami ini. Banyak lagu pilihan yang belum pernah saya dengar sebelumnya, seperti Luck of the Irish-nya John Lennon & Yoko Ono, Junk-nya Paul McCartney, She’s Leaving Home-nya Beatles, He Was My Brother-nya Simon & Garfunkel, Backstreet Girl dan Ruby Tuesday-nya Rolling Stones. Tapi banyak juga yang saya kenal dan kaget ketika dipilih jadi lagu kami. Seperti What A Feeling-nya Irene Cara, Give Your Best To Your Friend, Angel of the Morning, Too Young To Be Married….
Patokannya apa ya? Karena tak paham arah, maka saya membeli kaset lagu sebanyak-banyaknya, apalagi saat itu sempat terjadi obral kaset sebelum ada system pemasangan stiker pajak.

Karena merasa tidak tahu banyak, dan harus tahu banyak, saya kalap mencari tahu soal lagu, penyanyi, apa saja! Yang saya pegang cuma satu: kalau di telinga enak, beli.

Koleksi kaset saya yang tadinya sangat sedikit, mendadak banyak. Sayangnya, kaset-kaset yang saya beli, sebagian besar tetap tidak masuk dalam kategori pilihan Ari. Tapi, kalau jadi Ari, saya juga pasti bingung menghadapi saya saat itu. Karena mendadak koleksi lagu saya bergerak dari ekstrim yang satu ke ekstrim yang lain dengan kecepatan tinggi. Dari yang seleranya jadul abis, mendadak fanatik pada Mike dan Sally Oldfield, Jean-Michel Jarre, juga Allan Parson Project. Atau pada Annie Haslam-nya Rennaissance, yang saya pelajari tarikan suaranya di lagu Rockalise tanpa kenal waktu (sampai Mak saya teriak-teriak karena bosan dan sakit kepala mendengar suara yang melengking tinggi, naik turun tanpa rem). 

Sampai hari ini, kegemaran mencari lagu tidak berhenti.
Dan pertanyaan suka lagu apa, jenis apa, tetap tidak bisa saya jawab. Ngaku suka country, saya tidak kenal lagunya Blake Shelton dan tak terlalu suka pada Dolly Parton. Ngaku suka rock, saya cuma suka Queen dan CCR. Ngaku cinta jazz, saya nggak suka Pat Matheny. Tapi saya cinta Imelda May, Feist, Eva Cassidy, Caro Emerald, Mumford & Sons, Rumer, semua koleksi Putu Mayo. Tanpa melupakan Connie Francis, Beach Boys, Carpenters…. Ya, sepanjang enak di kuping, ambil!

Repertoar Gado-gado
Dalam perjalanan duet yang dimulai dari bulan Oktober 1982 ini, kami memang jadi suka-suka memilih lagu. Kadang-kadang berdasarkan permintaan teman-teman yang sayang kepada kami. Ace Ursulus Diafmart (almarhum), misalnya, memaksakan lagu Junk untuk kami nyanyikan. Selly Riawanti bertanggung jawab atas She's Leaving Home. Sementara Zeffry Alkatiri menyumbangkan Luck of the Irish. Di satu masa, kami menyanyikan Don’t Cry For Me Argentina-nya Sarah Brightman, lalu beberapa nomor Joni Mitchell, More than Words-nya Extreme, sampai Will Always Love You-nya Whitney Houston! Ngacak abis dan beragam sungguh tipis bedanya. Saya pikir di masa itu kami berdua –tanpa kesepakatan—memilih lagu yang enak di kuping, yang sedang hits. Simon & Garfunkel agak terlupa, meski The Boxer tak pernah pergi dari daftar lagu wajib kami.

Pencaharian lagu kadang bisa sangat mudah. Tetapi lebih sering sulitnya. Meski sama-sama sadar mencari lagu yang enak di kuping, yang sedang hits, tetap saja pilihan saya dan Ari sering bentrok. Karena yang enak buat Ari, terdengar aneh buat saya. Dan sebaliknya. Dalam banyak kesempatan, saya sering menyerahkan pilihan lagu pada Ari. Karena biar bagaimana pun juga, dia tahu lebih banyak lagu.

Setelah menemukan lagu, maka kami masuk ke tahap yang amat menyenangkan: bermain dengan lagu itu. Siapa saja bisa jadi suara satu, dan dengan enaknya belok ke suara dua, dan kembali lagi ke suara satu, atau mengambil suara tiga. Tidak ada yang kaget, pusing, atau terganggu dengan perubahan di tikungan-tikungan lagu.  Semua berjalan begitu saja dan tiba-tiba sebuah lagu selesai. Menurut sahabat kami, Yando Zakaria, itu keunikan AriReda. Lagu-lagu yang biasa dikenal mendadak jadi seperti lagu baru. Seperti lagu Here, There and Everywhere milik Beatles. Saya tak kenal lagu itu. Dan ketika Ari memainkan intronya, saya nyelonong dengan bait pertama Longer-nya Dan Fogelberg. Lho, kok bisa? Ya, karena saya kira itu lagunya Dan Fogelberg. Kalau ternyata bukan, mohon dimaafkan. Terlanjur dinyanyikan, dan teman-teman suka, kami teruskan saja.

Dan itulah yang terus berlangsung.
Sampai hari ini.