Wednesday, January 3, 2007

Ari Reda: Cerita Kami



Pada suatu hari, di tahun 1982 (bulan Oktober, kalau tidak salah), saya dicegat oleh Pepeng. Ya, Pepeng yang itu! Sangat tidak menyenangkan, karena saya masih ingat betapa galaknya dia waktu mengospek saya sekitar setahun lalu. Terus terang, dalam hati saya berdoa, semoga tidak ada ospek susulan di tengah-tengah semester tiga ini. Saya pantas khawatir, karena cara memanggilnya ya masih sama dengan masa ‘ngerjain’ itu.

“Sini, duduk!” katanya memerintah, matanya melotot. Mau bilang tidak mau, jelas konyol dan cari perkara karena dia melakukannya di depan kantor senat yang banyak manusianya (mereka semua anak-anak Antrop, teman Pepeng, yang suaranya kencang-kencang!). Jadi kalau mau aman, menurut saja. Saya duduk di sampingnya, di emper ruang senat, di pinggir got.

“Elu suka nyanyi, kan? Gue nggak tahu gimana caranya, elu musti nyanyi buat acara gue! Elu nggak boleh nolak, karena pasangan nyanyi elu udah gue siapin!” dia lalu bangun sam­bil menarik tangan saya. Kami masuk ke ruang senat. Di situ, ada banyak teman du­duk, rimbun di sofa yang sudah peyot. Tertawa-tawa, cerita-cerita, nyanyi-nyanyi. Lagu-lagunya saya tidak kenal. Pepeng memberi isyarat agar teman-teman itu me­nying­kir se­di­kit. Dan tiba-tiba, di sofa yang tadinya penuh manusia, sepi. Tinggal seorang teman, be­rambut keriting, main gitar. Tidak peduli dengan sekitarnya. Pepeng menekan bahu saya, mendudukkan saya di sebelah teman itu.


“Reda, ini Ari. Ari, ini Reda. Sejam lagi, kalo gue balik, elu berdua udah musti punya dua lagu buat nyanyi hari Kamis,“ katanya sambil mencangklong tas punggungnya. Pepeng pergi begitu saja. Kerumunan teman-teman sudah diam. Tetapi sekarang mereka me­man­dangi saya dan teman yang bernama Ari ini. Saya tidak tahu musti bilang apa saat itu. Kami tidak bersalaman, tidak bilang hai, tidak bersuara apa-apa. Sekitar setengah menit kemudian, Ari memainkan gitar, lagu
John Denver. Saya ikut menyanyi saja. Ari mengambil suara satu, saya ambil dua. Waktu di baik kedua dia lari ke suara dua, saya ambil suara satu. Di bait lain, waktu dia tetap tak mau pindah dari suara satu, saya menyisip-nyisipkan bait dengan suara yang lain. Begitu sampai selesai. Ari tidak bilang apa-apa. Saya juga. Teman-teman yang tadi memandangi langsung berisik, usul minta dinyanyikan lagu ini, itu, banyak. Beberapa sempat dipenuhi. Lagi-lagi dengan cara bagi suara yang sama. Terjadi begitu saja. Lalu nyanyi-nyanyi berhenti, karena saya ada kuliah.

Sorenya, saya ketemu Pepeng, dia bilang, "Gue denger lu udah kompak sama Ari. Pertunjukkan­nya Kamis sore. Elu sampai sini habis maghrib deh !" Kamis, dua hari lagi. Saya pulang. Besoknya di kampus, saya lihat Ari ada lagi. Nyanyi-nyanyi dan main gitar lagi. Waktu saya lewat di depan­nya, kami cuma saling mengangguk. Lalu hari Kamis tiba. Sejak siang saya lihat Ari sudah di atas panggung kecil bikinan teman-teman Antrop. Mengatur sound. Saya merasa perlu mampir, untuk memastikan, apa betul kami akan menyanyi nanti. Dia bilang, "Ya, habis magrib. Kalau mau latihan lagi, datang jam 5. ". Saya putuskan datang jam 5.

Sorenya, kami ketemu. Duduk di sofa reot itu lagi. Latihan lagu :
Fly Away. Kami musti nyanyi dua lagu. Tapi lagu keduanya, How Can I Leave You Again, Ari bilang biar saya nyanyikan sendiri. Saya panik. Tetapi Ari, ternyata memang suka begitu. Ngomong sekali, lalu Ari Cuma mau nyanyi sekali. Setelah itu dia menghilang. Saya baru melihatnya lagi sekitar lima menit sebelum kami naik panggung. Di panggung, kami menyanyi. Saya deg-degan bukan main. Belum pernah nyanyi seperti itu. Biasanya rombongan (paduan suara ). Kalau pun pernah, jaman TK dulu, di RRI Surabaya. Tapi kan nggak ada yang nonton! Cuma Bu Guru yang mencontohkan gaya. Ibu saya saja jarang ikut nongol di studio. Ini… LAIN! Kaki saya bergetar. Selesai dua lagu, kami turun. Saya pulang setelah acara selesai. Diantar Ari, Pepeng, Ace, Toha, Konar dan Jeffry (orang Hadralmaout yang masuk sastra Rusia dan sekarang sudah jadi dosen di FIB).

Itu kali pertama bertemu Ari. Setelah itu, saya sering melihatnya bersama anak-anak Antrop. Saya pikir dia FISIP karena kalau Antrop, saya pasti tahu dia jauh hari sebelumnya. Setiap kali kami sempat ketemu, paling-paling kami cuma manggut-manggut. Paling banter, dia bilang, "Kuliah, Red ?" Saya mau bilang apa lagi kecuali, ya.

Sebetulnya, terus-terang banget nih, saya sangat senang bisa menyanyi dengan Ari. Suaranya bagus. Lalu dia banyak mengajarkan pada saya lagu-lagu baru yang tidak pernah saya dengar sebelumnya. Bahkan beberapa lagu tidak pernah saya dengar aslinya sampai belasan tahun kemudian. Seperti
Junk, Luck of The Irish, Sweet Baby James, Streets of London, Wind Flowers, Funny Little Man, She’s Leaving Home (yang ini memang kebangetan, kok bisa-bisanya saya nggak tahu lagu Beatles –kenyataannya memang begitu. Saya nggak paham lagu Beatles sama sekali!). Banyak lah.

Ari suka jengkel dengan keterbatasan pengetahuan saya tentang lagu. Dia bilang, bisa nyanyi kok nggak tahu lagu. Lha, bagaimana: lagu yang saya tahu, dia tidak tahu (karena lagu yang saya tahu aliran tua banget!
Ricky Nelson, Neil Sedaka, Pat Boone, Frank Sinatra, Matt Monroe... ELVIS! Kenapa bisa begitu? Tanyakan pada Bapak dan Ibu saya). Di jaman awal pertemanan kami, Ari bisa hilang mood menyanyi dan latihan karena saya betul-betul buta lagu yang dia maksud. Tapi belakangan dia tahu, bahwa tiada guna memaksa saya tahu lagu yang dia mau. Kalau memang itu mau dinyanyikan, baiknya dia menyanyikannya saat kami latihan. Toh, meski saya tak tahu lagu aslinya, kami tetap bisa menyanyi duet. Malah orang bilang kami punya paduan suara yang ajaib (ya ajaib, karena si pengisi suara dua tidak tahu lagu aslinya! Ngawur nian lah!).

Nyanyi kedua bersama Ari, di Pasar Seni Ancol. Pepeng membuat grup
GM SELO (Gerak Musik Seloroh). Fotonya yang ada di kanan atas itu. Untuk acara ini Ari memilih lagu Simon & Garfunkel (Boxer) juga Bee Gees (Give the best to your friends). Kami latihan dua hari karena saya tidak tahu lagu yang dimaksud. Amalia Shadily, Konar dan Ace pemasok lirik lagu.

Saya gemetaran lagi nyanyi di Pasar Seni. Untung semua berjalan lancar. Malah dilempari duit dan rokok segala. Senang juga. Malamnya saya pulang lewat jam 23.00. Gerbang rumah sudah digembok. Ari membantu saya melompati pagar.


Ibu dan Bapak sebetulnya kurang suka saya nyanyi-nyanyi. Mana di Pasar Seni pula. Saya bilang ini pada Pepeng. Dan apa yang ia lakukan ? Pepeng main ke rumah, ngobrol dan bercanda dengan ibu saya. Ari diajak juga. Di situ Ari main gitar sampai sore. Hati ibu saya meleleh. Sejak hari itu, exit permit selalu diberikan, sepanjang saya menyanyi sama Ari. Tapi terus terang Bapak saya tetap kurang senang. Dia terpaksa setuju karena menganut satu paham untuk semua: kalau Ibu sudah putuskan, ia harus menurut. Demikian pula sebaliknya.


Ari, siapa ?

Ari ternyata bukan anak Antrop. Saya tahu ini setelah dua bulan kenalan. Ari anak Akademi Pimpinan (atau pemimpin) Perusahaan di Srengseng. Waktu kami kenalan, dia sedang menyusun skripsi (tapi baru kelar sekitar tiga tahun kemudian – kebanyakan nyanyi !). Ari indekost di Tebet. Saya baru tahu lokasi tempat ia tinggal setelah kami menyanyi sekitar empat tahunan. Yang lucu, setiap kali ada acara yang berhubungan dengan FSUI, tempat saya kuliah, status Ari selalu baru. Kadang-kadang kami bilang Ari anak Sastra Jepang (kalau yang mengundang Sastra Prancis). Kalau diundang sastra Inggris, kami bilang dia anak sastra Jawa! Tapi kalau
diundang FISIP, ah tenang! Mereka kenal dan cinta Ari mati-matian.


Repertoar

Sejak main di Pasar Seni, Pepeng rajin memberi job. Kami sering main di kampus-kampus. UI, sudah pasti. Kami langganan muncul di Student Nite-nya FISIP, hampir setiap tahun. Ketika kampus pindah ke Depok dan acara berpindah jadi Saturday Off, kami main juga di sana (terus main sampai saya hampir melahirkan anak pertama!). Juga di acara anak FSUI (sekarang FIB UI), Fpsikologi, FHUI. Lalu UKI, IKJ, Trisakti...

Lagu yang kami bawakan adalah balada dan lagu-lagu protes
Dylan, Simon & Garfunkel, Joan Baez, Joni Mitchell, James Taylor, John Lennon, Beatles, Bee Gees... Dari semua itu, kami paling sering membawakan nomor Simon & Garfunkel. Pertama, syairnya bagus. Kedua, paduan suaranya sangat indah. Kalau istilah Dharmawan, suara kawin tapi orang marahan (karena meski suara bersatu padu, tetapi penyanyinya tidak pernah saling menoleh/saling pandang).

Kami sempat jadi bintang tamu beberapa acara seru. Seperti
Si On Chantait, festival lagu Prancis di CCF. Lalu ikutan menjadi pengisi acara peresmian kampus UI Depok. Menyanyi di Teater Dalam Gang, menyanyi untuk ulang tahun Pak Teguh Karya. Sejak ia masih sehat hingga ulang tahun terakhir, sebelum ia pergi… Yang masih berhubungan dengan Pak Teguh juga : pernah ia diminta membuat pertunjukan untuk TPI. Untuk acara nyanyi, dia minta Ari Reda muncul. Saya sedang hamil, masuk bulan ke delapan ! Saya bilang ke Pak Teguh : Nanti penonton TPI sesak napas lihat ibu-ibu hamil menyanyi begini. Bagaimana kalau diganti orang lain saja ? Eh, dia marah. Bersama Ari, dia ngotot saya harus menyanyi. Dan muncullah kami berdua. Dan seperti yang saya duga, penonton banyak yang bingung dan sesak napas : siapa perempuan hamil yang menyanyi, membuat layar televisi penuh dengan perutnya ?


Langkah selanjutnya

Dari tahun 1982 sampai 2004, sudah tak terhitung berapa ratus kali kami main. Ari bilang, kalau duet kami disamakan dengan perkawinan, pasti kami berdua punya anak yang besar-besar. Sudah kuliah, Ri !

Pada satu ketika, tiba-tiba saya sempat merasa jenuh dengan duet kami. Mungkin karena kami terus menyanyikan lagu orang. Ari – tampaknya – juga demikian. Ia sempat bergabung dengan grup
Pahama. Saya nyaris tidak menyanyi selama setahun, sampai akhirnya diajak oleh AGS Arya Dipayana, membantunya dalam proyek Pekan Apresiasi Seni, 1987, yang diprakarsai oleh Fuad Hassan -- Menteri Pendidikan & Kebudayaan paling top (dari saat itu hingga sekarang, rasanya!) dan Pusat Pengembangan Bahasa Indonesia.

Di situ, saya diminta menyanyikan dua lagu yang digubah dari puisi-puisi karya penyair terkenal Indonesia:
Toto Sudarto Bachtiar (Gadis Peminta-minta) dan Gunawan Mohammad (Di Beranda Ini Angin Tak Kedengaran Lagi). Ada lima puisi yang dilagukan. Konon kabarnya album mini itu kemudian disebarkan di sekolah-sekolah untuk apresiasi sastra. Konon lagi, disukai dan sukses. Maka tahun berikutnya, dibuat lagi hal yang sama. Tapi sekarang ganti nama: Bulan Apresiasi Sastra, 1988. Saat itu, saya pikir Ari harus ikut. Dan ia setuju karena kebetulan Pahama sedang tak terlalu aktif.

Proyek ini menghasilkan sekitar 25 lagu dengan memakai puisi dari lebih banyak penyair lagi. Saat itu yang paling banyak dibuat komposisinya adalah sajak-sajak
Sapardi Djoko Damono. Ari Reda kebagian menyanyikan Aku Ingin dan Hujan Bulan Juni.

Aku Ingin, ya Aku Ingin yang muncul di
Cinta Dalam Sepotong Roti, dikerjakan oleh AGS Arya Dipayana. Pada saat harus rekaman, kami berdua tak tahu seperti apa lagu yang dibuat oleh AGS. Kami pasrah, berharap agar lagu tidak terlalu sulit untuk digarap malam itu juga (terlanjur ada jadwal rekaman).

Begitu AGS datang, kami duduk di bawah pohon Mangga (satu-satunya pohon besar di halaman studio Harmoni, di Paseban). Mendengarkan lagu yang dimainkan AGS pakai gitar. Ari meminjam gitar dari AGS, mencoba memainkannya sambil bertanya-tanya. AGS lalu teringat ia membawa catatan chord lagunya. Muncullah sebuah kotak korek api cap duren. Dibuka, dan bagian dalamnya ada tulisan. Kode chord lagu. Syair tertulis di sebuah kertas kecil, robek dan kusut. Kami berdua menyanyikannya. Dan saat itu juga menemukan paduan suara yang seperti Anda kenal sekarang (kalau kata Pak Sapardi, yang pertama itu justru lebih ajaib lagi... semoga ajaib di sini berarti baik/bagus).


Hujan Bulan Juni dibuat oleh Umar Muslim. Lagunya sangat melodius dengan chord yang sangat manis. Kalau kata pakar gitar: sangat teratur, rapih dan mulus.

Album BAS yang disebar luaskan dan berakhir menjadi kaset wajib anak SMA yang ingin ikut lomba musikalisasi pada tahun itu, konon kabarnya sangat diminati. Sukses. Lagunya enak-enak. Dari sini, kemudian Sapardi Djoko Damono menawarkan membuat album yang memusikalisasi puisinya. Kami semua setuju. Album itu berjudul
Hujan Bulan Juni, 1989. Ari Reda kembali ikut.

Album sempat dicetak beberapa kali. Habis. Dan rupanya memang banyak yang suka. Sejak saat itu, kami mulai melepas lagu Simon & Garfunkel. Setiap kali main, kami jadi sering diminta membawakan lagu Aku Ingin, Hujan Bulan Juni…

Tahun 1996, grup Hujan Bulan Juni ini manggung di TIM, Graha Bhakti Budaya. Ramai sekali. Dan bersaman dengan itu, satu lagi album musikalisasi puisi diluncurkan. Judulnya Hujan Dalam Komposisi. Kami menyanyi lagi. Di sini ada lagu kesukaan kami berdua,
Pada Suatu Hari Nanti.

Kami berdua terus menyanyi bersama. Rekaman sendiri, sampai sekarang tak kunjung muncul, meski sempat terpikirkan beberapa kali untuk membuat. Bahkan kami pernah punya demo tape berisi 5 lagu buatan sendiri (sekarang satu pun tak ada yang saya ingat lagunya!) dan pernah kami bawakan di program TVRI Chandra Kirana, atas dorongan Diah Iskandar.


Hari ini

Kami sempat tidak bertemu dan menyanyi selama hampir dua tahun. Ari sibuk dengan berbagai projek, sedangkan saya dan Nana membuat album
Gadis Kecil (Juni tahun 2005). Tak lama setelah Lebaran 2006, di acara Iwan Abdulrahman kemarin, kami baru kembali berkumpul. Lalu kami bertemu lagi, dilanjutkan dengan omong-omong, berandai-andai, bagaimana kalau menyanyi kembali. Setelah duduk-duduk, bicara-bicara plus rokok-merokok, minum jahe, teh poci, mengunyah kencur –didorong Eddie Jambul, AGS Arya Dipayana, Dharmawan Handonowarih, Ade Latief… kami memutuskan untuk buat rekaman.

Dalam waktu 12 hari, rekaman selesai. Dan sekarang siap diluncurkan.

Lalu harapan kami pun mengangkasa :
Semoga segalanya berjalan baik untuk hari-hari mendatang..

Mohon doa restunya.

16 comments:

Anonymous said...

Akhirnyaaaa.... glad to hear that you back together... Wish you both all the best and many success

iteh

Unknown said...

thank you ya, Iteh!
ternyata bisa juga.
setelah sempat nggak jelas mau ngapain, nggak jelas mau terus atau nggak, eh malah bikin album!

Anonymous said...

Selamat ya, Mba Reda dan Mas Ari! What A Feeling-nya semalam cihuy lo! Aku nunggu2 "Nokturno", kirain bakal dinyanyikan sbg bonus hehehe.

Anonymous said...

akhirnya sayah dapet CD nya juga.. tengs yah mbak reda dan mas ari, jadi waktu aku ketemu mbak di acara abah iwan.. itu "reuni" yah.. dan menyanyi waktu di ulang tahun Mapala UI..itu tampil pertama? setelah sekian lama? tapi puas lihat penampilannya di launching bukunya mas KEF.. "burung kolibri merah dadunya" keren.. sukses buat mas ari dan mbak reda...!!!

Anonymous said...

Selamat ya mbak Reda dan mas Ari. Foto anda berduet ada banyak di rumahku, printoutnya maupun negatifnya. Itu karena dulu di Taman Sastra ataw Pasar Seni, Amal, Konar, Toha, dan aku suka jungkir balik memotret kalian. Berita perkembangan kalian terikuti juga secara sporadik. Yang penting pada sehat kan dengan keluarga masing2. Sayang tak bisa ikut nonton kalian manggung lagi. Boleh usul, gimana kalau manggung utk Pepeng yg sekarang posisinya horisontal terus?
Sukses terus yaa
Ncesz

Unknown said...

Tegar,
Terima kasih banget sudah mendengarkan cd.
Terima kasih buat dukungannya!
Ya, nyanyi di Mapala itu pertama kali menjajal kekuatan suara dan tes jimat: masih ada yang mau dengerin, nggak? Ternyata malah dikipasin sama semua orang, suruh bikin lagi. Ya, terbakar dengan sukses deh!

Sekali lagi: Terima kasih sangat!
Selalu,
A & r

Unknown said...

Ncesz,
Whoa! Apa kabar?
Bicara soal foto, ayo dong gue dibagi-bagi dikit. Nggak punya sama sekali! Foto yang gue punya,
ya yang ada di blog ini.
Nggak lebih, nggak kurang!
Main buat Pepeng, ayo!
Main di Bandung, mau banget. Gimana caranya ya Ncesz? Di ITB, gitu?
atau CCF Bandung?
Kabar-kabari gue & Ari, dong!
Thank you banget sekali lagi buat semuanya: hari kemarin, hari sekarang dan hari besok.

salam buat Alizar & anak-anak,
r

Anonymous said...

saya kenal ari malibu suaminya wiwi itu. tapi reda? wait ... ini reda yang pemred itu kan? yang dulu sering jadi penulis di majalah remaja mode? wah ... dahsyat!

Anonymous said...

Pertama kali denger "aku ingin" (dikenalin sama anak FSUI) wkt jaman kuliah di FEUI th 93, langsung meleleh!!
I've been a big fan ever since!

Abis itu sering liat Mas Ari dan Mba Reda, nyanyi2 di upstairs (wkt sering diajak main sama toku2 antrop) dan sempet beberapa kali diajak naik panggung buat nyanyi (you might not remember this, hehe). Wahh itu yg namanya bangga bukan main! Mau meledak rasanya :)

Kesel bukan main wkt ga bisa dtg ke ultah Mapala, pas tau Mas Ari dan Mba Reda nyanyi!

Anyway, all the best of luck! Keep on singing! Sukses selalu!

BTW, Tegar yg ngasih tau ttg blog ini :)

Anonymous said...

waduh, kebanggaan saya jadi berlipat2 bisa nyanyiin lagu Aku Ingin bareng Mas Ari & Mb Reda di HUT Mapala Des lalu itu :) you're really great....
Kapan lagi bisa lihat duo A&R live nih?

Sarah

Anonymous said...

Dear Mas dan Mbak,

Saya nggak tahu harus bilang apa? Saya benar2 jatuh cinta dengan permainan gitar dan suara anda. Awal ceritanya ketika saya selesai mendaki selama setahun di sekitar tahun 92-93 (maaf saya lupa), ada keinginan untuk belajar berkesenian, ikutlah teater kampus, kemudian kenalan dengan salah seorang gadis, adik kelas yang cantik yang juga pandai membawakan puisi. Satu malam dia memberikan sebuah kaset berisi musikalisasi puisi dalam sampul kaset berselimut warna coklat. Saya bawa pulang dan saya dengarkan baik-baik. Baru mendengar langsung jatuh cinta. "Nokturno" membuat saya sulit terlelap dan terus memperhatikan setiap petikan gitar dan alunan suara indah. Saya yakin saya jatuh cinta terhadap petikan gitar dan alunan suara anda. Hingga kini saya masih sering mendengarnya. Saya rekam berulang2 kaset tersebut dan saya simpan baik masternya. Sejak itu semua hari-hari saya selalu diiringi oleh anda. 4 tahun yang lalu, saya menikah dengan gadis cantik pemberi kaset usang tersebut (dan kini kami punya seorang putera berumur 3 tahun). Dan 2 hari lalu sebelum saya tulis ini saya terhentak ketika mendapatkan kiriman dari orang tak dikenal 2 buah CD "Gadis Kecil" dan "Becoming Dew".... Saya menitikkan air mata. Saya tahu banyak lagu didalamnya selalu menemani setiap pendakian dan kesendirian saya di hutan-hutan.

Terima kasih atas persahabatan dalam bait-bait puisi yang dinyanyikan dengan begitu indah.
Saya berharap satu ketika bisa bertemu dengan anda berdua.

Saya jatuh cinta dengan hasil karya anda.

Salam,
Bongkeng
http://www.kabutsenja.web.id

Unknown said...

Mas Edy Prabowo,
Beberapa waktu yang lalu saya sempat mampir di www.kabutsenja.web.id. Sempat juga mengirim pesan.
Lewat pojok ini, sekali lagi saya mengucapkan terima kasih yang amat sangat untuk kecintaannya pada musikalisasi puisi.

Terima kasih mau menjadikannya teman bekerja hari lepas hari.

Salam hormat dan kasih untuk dia yang mengenalkan musikalisasi puisi pada Mas Edy dan yang kini telah memberikan seorang buah hati yang gagah perkasa.

Dukungan Mas Edy sungguh berarti buat kami berdua.
Selalu,

Anonymous said...

punya lagu soundtracknya cinta dalam sepotong roti yang judulnya Aku Ingin ga? tolong dunkz kirimi aku lagu itu...penting bgt neeh bwt tugas kuliah....kelas drama. makasih yaah.....eh, lupa. niy alamat mailku....biawakmambu@yahoo.co.id atau eddahermetic2@yahoo.com....makasih ya klo bersedia kirimi lagu itu...;)

salam kenal,

vie

def said...

Akhirnya ketemu juga dengan org yang kucari..luarrrr biasaaaa....selama ini ketika sy gunakan lagu2mu..itu d depan siswa sebagai pelajaran musikalisasi puisi..mereka bertanya siapa yang menyanyikannya BU???dan tau saya celingukan...sebelumnya sy hanya tertuju pada Sapardi Djoko Damono saja..MIz U so much...

fian ganteng said...

dari mukamumukaku@yahoo.com alias fian, ak adalah fans berat nomor satu anda..ini serius
untuk mba reda dan mas ari, berani ga trima tantangan dariku untuk bikin musikalisasi puisiku?
kalau brani tak tunggu balasan di facebook ku(alamatA yg da diatas td)..
buktikan bahwa anda memang benar2 menyintai fans..hhm makasih
ku kan selalu dengerin tembang elok dari kalian..yeah

Anonymous said...

h