Saturday, January 24, 2009

Duet Ari & Reda

Dharmawan Handonowarih


Saya sudah bisa membayangkan. Lagu yang bakal dinyanyikan. Puisi-puisi itu. Suara yang bening dan bergetar. Bahkan posisi duduknya. Yang perempuan akan menutup sebagian telinganya. Atau membetulkan letak kaca mata. Ada buku lagu di atas music stand. Ada senyum tiap kali selesai menyanyi. Dan kesederhanaan itu. Sudah saya bayangkan. Tapi ketika ada berita mereka akan manggung, toh saya akan berusaha hadir. Menonton kembali. Lalu menunggu lagu itu dinyanyikan. Lagi.

Seingat saya, saya pertama kali nonton mereka pada 1982 di halaman Taman Sastra FSUI di Rawamangun. Di bawah pohon flamboyan yang kering. Mereka menyanyikan Here, There, And Everywhere. Saya duduk di pinggir got. Semua penonton diam. Mungkin tahan napas. Lalu keplok panjang. Keduanya lantas menghilang. “Orang sederhana dengan lagu sederhana, tapi begitu istimewa.”

Sejak saat itu, saya berharap bisa mendengar lagi. Memang, saya melihatnya melintas di depan kantor pos kampus. Memang, langkahnya cepat seperti dikejar orang. Memang, masih dengan T-shirt, celana jins, dan sepatu karet. “Itu dia penyanyi dengan suara hebat.” Tapi kapan dia nyanyi lagi dengan rekannya yang keriting itu?

Tujuh tahun sesudahnya, saya baru bisa nonton lagi. Pada 1989, saat bekerja di HAI, saya datang ke Pesta Seni Bulungan. Bukan tugas kantor. Saya mau melihat lagi duet maut itu. Juga memotret dengan kamera pinjaman. Dan sehari kemudian terjadilah adegan itu, di tempat saya kerja, Palmerah Selatan lantai 5.

“Gue mau menulis Pesta Seni Bulungan,” kata Elwin Siregar, freelancer baru, pindahan dari Femina Grup, yang waktu itu menulis dengan inisial Nari, kepada Iwan, teman SMP-nya, yang menjadi redaktur di HAI.
“Emang ada fotonya, Tak?” tanya Iwan (Iwan memanggil temannya itu dengan ‘Batak’).
“Tuh, dia kan kemaren motret,” kata Elwin sambil menunjukkan dagunya ke arah saya (dia waktu belum kenal saya).

Elwin lalu menuliskan di HAI No. 52 yang terbit 29 Desember 1987. Sebuah tulisan di halaman belakang:

Yang justru merebut simpati penonton adalah pasangan Ari dan Reda. Tampil seadanya, tanpa pretensi apa-apa, pasangan ini mengundang keplok penonton. Padahal, mereka juga mengalami gangguan pada sound system ketika meluncurkan nomor-nomor dari Paul McCartney dan Art Garfunkel. Cuma, itulah, mereka tak hendak tampil profesional. Sesuatu yang mungkin berlebihan di dalam pesta seni yang sekaligus juga tempat reuni.

Ya, yang saya maksud duet ini adalah Ari & Reda. Nama yang enak diucapkan, seperti mendengar kemerduan suaranya. Bukan hanya karena ada R di tengah, tapi juga A di bagian belakang. “Menyanyi tanpa pretensi apa-apa”, akhirnya terpatri di kepala. Tiap kali menonton mereka.

Dia di kantor saya

Tahun berganti, si penyanyi itu akhirnya jadi rekan kerja. Baru tahu sekarang, ada nama tengahnya: Linda (pertama mendengar, agak menggelikan, karena sama dengan merk mesin jahit ibu saya). Ia menulis film, bikin terjemahan cerpen asing, dan banyak lagi. Termasuk ikut ke Pesta Pelajar HAI di Malang yang meriah. Tapi pertemuan dengan penyanyi ini tidak lama. Ia hamil, cuti, dan menghilang. “Maaf saya tidak bisa bergabung lagi. Sejak ada si kecil, saya seperti ‘paralyzed,” katanya, dalam sepucuk surat ditulis tangan. Anehnya, justru setelah pindah ke tempat kerja yang lain, dia malah sering mampir. Tentu saja, teman-teman di HAI setengah memaksa ia nyanyi.

Elwin selalu minta lagu yang sama, Mother of Mine. Agam Jaya ikut nyanyi dengan suara fals. Anton Diaz meminta lagu lain, sambil bercakap dalam bahasa Perancis (mereka satu jurusan). Sementara Daus, fotografer jebolan jurusan Rusia, mula-mula menikmati lalu dilanjutkan dengan tidur. Dan, mendengkur. Abi Hasantoso minta lagu kesayangannya, Bridge Over Trouble Water, sembari nimbrung di bagian refrain (dan kehabisan napas). Daru Paramayuga menghentikan kerja desainnya, karena mau mendengarkan getaran vokal Reda saat membawakan The Boxer (untuk ditiru keesokan harinya bersama saya, dan tentu saja gagal).

Ari Malibu baru saya kenal sesudahnya. Waktu itu ia membuat album dengan bendera LFM (Last Few Minutes). Denny MR, penulis musik di HAI, menyebut grup yang juga didukung oleh Ridho Hafiedz (sekarang gitaris Slank) ini sebagai grup rock alternatif. LFM diajak HAI ke ajang Pesta Pelajar di Jakarta dan Bandung. Banyak ngobrol dengan Ari, saya pun baru tahu kalau ia punya aksen seperti orang pesisir Jawa Tengah alias Tegal. Waktu akan manggung di stadion Gasibu, Bandung, saya keluar hotel Santika. Memborong banyak lilin dari kios rokok. Lebih dari sepuluh pak. Maunya, pas lagu Warik, saya akan bagikan lilin itu ke penonton di bagian depan. Sayang, panitia melarang. “Nanti malah buat bakar-bakaran.” Mungkin panitia tahu, saya berlebihan. Tapi sampai sekarang, lagu Warik memang tetap enak. Mungkin hanya Ari Malibu yang cocok melantunkannya. Keindahan suara ini yang muncul kembali ketika ia membawakan Sonnet: X pada album Becoming Dew.

Duet itu kami undang

Dari sekadar penonton, kenal sebagai rekan kerja, akhirnya datanglah kesempatan sebagai pengundang. Garin Nugroho diundang Teater Utan Kayu untuk membacakan puisi-puisi cinta. Ia bertanya, harus tampil bagaimana. Lalu muncul ide agar ada iringan duet nyanyian cinta dari Ari & Reda. Kami berkumpul di Plasa Senayan. Membahas semua kemungkinan. Sayangnya ide itu tidak berlanjut.

Kesempatan kedua datang saat bersama Enrico Halim, kami mengusahakan dibukanya kembali Teater Dalam Gang Tuti Indra Malaon, sebuah gedung pertunjukan mungil milik Teater Populer. Lokasinya di gang Kebon Kacang, tidak jauh dari bak penampungan sampah. Kami mendiskusikan, pembukaan apa yang pas. Teguh Karya, pemimpin Teater Populer, adalah maestro film yang hidup dan bersikap dalam kesederhanaan. Tapi melahirkan film-film yang bermutu, dengan tema-tema yang tidak jauh dari kehidupan sehari-hari. Waktu itu sedang sakit-sakitan. Setelah mendiskusikan berbagai hal, akhirnya ketemu juga: pertunjukan Ari & Reda, pemutaran film Ibunda, dan menikmati bubur ayam bikinan ibu Josephine Komara (Obin). Klop.

Teguh Karya waktu itu masih hidup dan turut menyaksikan. “Tempat yang kayak gini nih kan diperlukan,” katanya terbata. Akulah Si Telaga, dipersembahkan oleh Ags Aryadipayana kepada maestro film itu. “Karena Pak Teguh adalah Telaga juga,” kata sutradara teater itu. Malam itu tampil sisi indah kesederhanaan. Sebelum manggung, Ari & Reda latihan kecil di teras belakang. Ari datang dari Ciputat yang macet, Reda habis deadline di majalah Cosmopolitan. Saya siapkan Coca Cola dingin untuk keduanya. Tapi?

“Elo ada-ada aja Wan,” kata Ari. “Masak mau nyanyi dikasih es.”
“Kita biasa makan ini,” kata Reda sembari mengunyah kencur. Kencur? Rempah-rempah yang berbau menyengat itu dikunyah Reda mentah-mentah. Katanya, akan membuat suaranya lebih terjaga.

Malam itu mereka membawakan lagu-lagu dari theme song sejumlah film. Termasuk film Cinta Pertama, yang diciptakan Idris Sardi. Di samping kebiasaan makan kencur (yang saya ketahui juga dilakukan saat ketemu di belakang panggung Newsmuseum), saya juga tahu bagaimana sensitivitas suara dan pendengaran Ari. Waktu itu, ia mencek dengan teliti peralatan sound system. Dan nyaris tanpa masalah. Jauh hari, Reda sudah berpesan kepada saya, “Sebaiknya pakai sound system yang biasa digunakan Ari supaya dia bisa klop.” Tata suara yang buruk, masih pesan Reda, akan membuat Ari kehilangan mood. Dan itu berbahaya. Nasihat ini saya turuti. Pertunjukan berlangsung sukses. Penonton bahkan ikut bernyanyi di ruang teater berbentuk tapal kuda itu. Udara panas. AC belum dipasang. Tiap penonton dipinjami kipas sate. Pertunjukan usai, obrolan berlanjut di teras belakang. Besoknya, foto duet ini muncul di harian Kompas.

Berkumpul Lagi
Sampai akhirnya terdengar kabar Ari sakit. Kalau tidak salah empedunya terganggu. Kabar ini saya ketahui dari Nana, kawan mereka juga. Barangkali ini yang membuat duet itu kemudian jarang muncul. Benarkah Ari bakal susah berduet lagi? Sebelum menjawab ini, saya tanyakan ke Denny MR, teman yang hidupnya dihabiskan untuk mendengarkan musik Indonesia.

Kesan apa yang didapatnya setiap kali mendengar duet ini? “Duet ini istimewa. Suara Ari itu begitu ‘ringan’ dalam arti bening. Klop dengan suara Reda yang agak ‘bergetar’. Mereka cocok dengan lagu-lagu balada. Jangan berikan lagu yang rock,” katanya. Seperti biasa, dia serius. Katanya, lagi, mestinya dalam industri rekaman, suara mereka punya tempat. “Gue enggak tahu ya kenapa mereka nggak masuk industri.”

Entah oleh musabab apa, duet ini pernah terancam pisah. Di sebuah parkiran mobil Palmerah, Ari menumpahkan kekesalannya. Saya tidak mau ikut bertanya. Atau menyelidik. Saya mendengarnya dengan rasa menyesal. Bukankah saya masih menyimpan kemauan, bikin konser dengan judul, “Dengan Kepala Dingin”. (Waktu itu, cuaca politik di Jakarta kisruh dengan banyak pernyataan serba mengancam dari militer. Mungkin mendengar lagu-lagu dari Ari & Reda akan jadi semacam oase. Cari kesejukan sedikit).

Waktu bisa menyelesaikan masalah. Mungkin. Kenyataannya, suatu siang, Reda mengabarkan berita gembira. Duet itu akan nyanyi kembali! Mereka bertemu di Bentara Budaya. Dan ajakan itu meluncur begitu saja. Lalu disanggupi. Kabar yang menggembirakan. Ari & Reda bernyanyi lagi. Sayang, konser di Wapres (Warung Apresiasi) itu tak sempat saya tonton karena mendadak badan meriang.

Hitung sendiri, sudah berapa lama duet ini, sejak awal manggung di taman sastra UI. Mereka telah membentuk komunitasnya sendiri. Seperti dengan sistem sel: temen-temen dari temen-temen-temennya Reda atau temenya temen dari temen-temennya temen Ari. Dari Fakultas Sastra (sekarang FIB), lalu FISIP, termasuk “kampus” mereka yang lain: dunia kerja. Bagaimana menggambarkan dunia kerja ini, suatu kali di kedai kopi Cikini, si penyanyi yang suka berjalan cepat di depan kantor pos itu berkata, “Kalau diitung-itung, kerjaan gue sekarang ini adalah yang ke-13!” Bukan hanya Reda, saya kira, Ari pun mempunyai kesibukan yang tak kalah seru.

Satu dengan yang lain melahirkan teman dari latar yang berbeda-beda. Uniknya, sejauh-jauh langkah mereka, keduanya akan duduk kembali di kursi itu, menghadapi buku lagu, dengan kidung merdu. Seperti penonton-penontonnya: sesibuk-sibuknya, akan berhenti sejenak, begitu ada undangan nonton duet ini. Kapan? Di mana? Si anu ikut nonton juga nggak? Seperti peluit kereta di stasiun pemberhentian. Sebuah jeda untuk menikmati kesederhanaan: lagu, puisi.. dalam suara bening dan bergetar itu. Keren banget tulisan Cenil:

… dinyanyikan oleh orang yang sama, didengarkan bersama orang-orang yang sama. Gembira tak bisa jadi kata yang tepat. Bahagia mungkin lebih dekat.

Saya sudah bayangkan. Lagu yang bakal dinyanyikan mereka. Puisi-puisi itu. Posisi duduk mereka. Ada buku lagu. Ada senyum. Tapi ketika ada berita mereka akan manggung, toh saya akan berusaha hadir. Menonton kembali. Lalu menunggu lagu kesayangan itu dinyanyikan. Lagi. Rindu, haru, seru. Itulah dia, Ari & Reda.