Tuesday, December 2, 2014

AriReda: Hari Selanjutnya (bg 2)


Pertama kaliberkenalan dengan Ari, saya tak tahu nama belakangnya. Ari, Ari saja. Kuliahapa dan di mana, tinggal di mana. 

Kok bisa?
Nah, saya juga heran. Saya coba ingat-ingat lagi kegiatan kami di pertemuan-pertemuan awal.Karena kami memang amat sangat jarang mengobrol. Mungkin kalau dikumpul-kumpul,dikorek sampai ke keraknya, percakapan kami selama dua, tiga tahun pertama, pastitidak mencapai dua jam. Menurut saya, Ari cuma ‘menyala’ kalau membahas lagu,aransemen, sound…. Sementara saya, yatahu sendiri kan, saya buta lagu. Jadi saya merasa tidak pernah siap memulaipercakapan tentang lagu. Kalau diingat-ingat lagi, saat itu energi saya habisuntuk mempelajari lagu yang diajukan oleh Pada masa awal duet kami, energi sayalebih banyak terpakai untuk mempelajari lagu yang diajukan oleh Yando, Zeffry,Selly ‘Ncesz’ Riawanti, Ace, Toha, Donny dan tentu saja  Ari. Saya masih ingat betul, setiap kali Ncesz mulai duduk manis di depankami, menyalakan rokok Lucky Strike-nya yang tanpa filter itu, dan mata agaktertutup sedikit (duh gaya banget!), saya pasti deg-degan. Karena setelahadegan itu, ia akan bilang, “Kayaknya asyik deh kalau eloe berdua bawainlagu…..”

Meski suka main lempar usul lagu –banyak yang tak pernahsaya dengar aslinya hingga tahun 2000-an, setelah Google menyediakansegala—teman-teman itu cukup bertanggung jawab. Hampir selalu mereka jugamenyertakan liriknya.Tak main lempar judul lagu.  Kalaupun hanya menyediakan kaset, dari awalsaya sudah diberi kalimat pengaman, “Loe puter-puter aje. Gue rela kalaukasetnya jadi ngegeleong….”

Dan Ari adalah…..
Ah, iya kembali ke soal Ari.
Hal pertama yang saya catat dari Ari adalah bicaranya: supercepat. Sejak pertama kenal, hampir selalu saya tak bisa menangkap dengan baik kalimatyang ia sampaikan. Super ngebut, brebet, dan tiba-tiba sudah selesai lalu iamenunggu jawaban saya. Eh, memang tadi dia tanya apa ya? Kok kedengaran lebihmirip pernyataan ketimbang pertanyaan. Suka tak suka, mau tak mau,  hampir setiap kali saya akan bertanya ulang,“Apa, Ri?” atau “Eh, tadi ngomong apa, Ri?”
Saya yakin, saat itu Ari berpikir ada gangguan hebat dikuping saya ini, sehingga setiap kali ia bicara pasti saya tanya balik, dan diaharus mengulang kalimatnya.  Selain bicara,Ari juga  berjalan dengan cepat. Jadi,kalau kami latihan di rumah saya, yang saat itu jaraknya tak sampai 500 meterdari Kampus UI Rawamangun, saya pasti agak setengah berlari mengikutilangkahnya.  Dan sudah dalam keadaansetengah berlari itu, saya masih harus menyimak omongannya yang serba cepat danbrebet-brebet itu.  Ah, terserah dehnanti pas sampai di rumah saya tanya ulang dia tadi cerita apa. Maaf ya….

Oya, Ari itu paduan Makassar dan Tegal.
Kata Mas Aji –AGS Arya Dipayana almarhum- logat Ari sangatjelas terdengar kalau ia bicara dalam kalimat panjang-panjang. Belakangan,pacar yang kemudian jadi suami saya juga berkomentar sama. Oh ya? Wah saya koktidak menangkap itu.  Mungkin logat khasitu hanya bisa ditangkap oleh sesama kelahiran Jawa (Mas Aji dan suamisama-sama asal Jawa). 

Dari namanya, saya tahu dia anak kedua.
Punya kakak dan adik.
Tempat tinggal: Tebet. Mungkin kalau ada pemilihan penghunipaling setia, Ari bisa menang. Karena sejak kenalan, dia memilih kost di Tebet,Tebet dan Tebet. Alamat memang pindah-pindah, tapi tetap saja tak pernah lepasdari Tebet: Tebet Timur,  Barat,  Selatan, Utara, Tengah, Ujung, Belakang, Depan…Pokoknya Tebet. Mungkin dulu pacarnya tinggal di Tebet juga. Mungkin, lho. Eh, sebentar….kokbisa-bisanya saya lupa menanyakan  soalyang satu itu?  Ari baru melepaskan diridari wilayah Tebet dari sana setelah menikah. Sekarang ia jadi wargaPamulang. 

Ari kuliah di mana?
Nah, ini dia yang selalu jadi pertanyaan banyak orang, dankami punya banyak jawaban untuk itu. Ketika pertama kali kenalan, saya mengiraAri termasuk keluarga Antropologi UI. Habis tidak pernah lepas dari teman-temanAntrop. Ternyata bukan. FISIP, FHUI, FPsiUI? Bukan semua. Bahkan bukan UI. Laludari mana?

Jaman kami baru nyanyi-nyanyi itu, Ari sudah masuk persiapanmenyusun skripsi di APP, Akademi Pimpinan Perusahaan –yang kalau tidak salahberlokasi di Srengseng. Saya tidak pernah tahu ada Sekolah Tinggi yanglulusannya bisa jadi pemimpin perusahaan sampai hari itu. Skripsinya membahaspentingnya maintenance dalam menjagakesehatan perusahaan. Hmmm, heran juga saya bisa ingat sampai sekarang, mungkinkarena katamaintenance itu, yangbaru saya tahu artinya lewat penjelasan Ari pada suatu ketika. Tetapi hinggaakhir masa kuliah kami berdua di universitas masing-masing, setiap kali main diUI, Ari selalu diperkenalkan sebagai anak UI juga. Kalau main di FISIP, makaAri menjadi anak Sastra. Kalau main di Sastra, ya Ari jadi anak FISIP.  Atau FHUI. Ya, diputar-putar sajalah.

Awalnya, saya main gampang saja, kalau main di SastraPrancis, maka Ari jadi mahasiswa sastra Jepang atau China. Ternyata upaya initak berlangsung lama, karena pada suatu hari, dosen saya –dari jurusan Prancis-memanggil saya dan bertanya dengan serius, “Eh, Reda…. Partner duet kamu itusudah semester berapa di Jurusan Jepang? Kok saya tanya Pak Ketut dia nggakkenal Ari, ya?” Waaks! Sejak hari itu, kami memutuskan untuk memutar status Aridi jalur Fakultas saja. Jurusannya? Ah, biar mereka rasa-rasa sendiri saja manayang pas buat teman satu ini.

Soal Latihan
Yang paling ribet dari urusan latihan adalah membuat janjikapan waktu yang tepat untuk latihan. Meski hampir setiap hari bisa mampir kepojok Teater Sastra, bukan berarti setiap hari dan setiap saat Ari siap latihan.Sementara di tahun-tahun pertama, saya kan sok rajin dan patuh dan disiplinikut kuliah. Nggak berani bolos (soalnya dosen-dosennya kenal Mak saya! Kalau sampai ngadu ke Mak, bagaimana?).

Waktu latihan selalu –HARUS- dengan perjanjian. Kapan dan dimana. Kami hanya latihan kalau dapat order main dari Pepeng. Telepon genggammodel apa pun belum lahir di jaman itu. Adanya telepon umum, yangsering menelan koin tapi enggan menyambungkan pembicaraan. Di rumah saya, waktuitu, tidak ada telepon juga. Rumah kost Ari ada telepon, tapi yang dituju takpernah ada di rumah. Jadi kalau telepon pun yang menjawab selalu Tante Kost(namanya siapa ya?), yang selalu berjanji akan menyampaikan kepada Ari bila iapulang nanti. Yaitu….. kapan, tepatnya? Metode paling pas untuk bertemuternyata sangat sederhana: kami titip pesan pada teman-teman. Orang yang palingsering saya ‘manfaatkan’ sebagai kurir pesan adalah Ace Ursulus Diafmart, karena di mana ada Ace, hampir selalu ada Ari juga. Supaya aman –seandainya Ace sempat tak bersama Ari- pesan sayasangkutkan juga pada Yando Zakaria.

Begitu hari yang dijanjikan tiba,sejak masuk ke area Taman Sastra saya pasti menerima pesan bertubi-tubi, “Ari sudahdatang, tuh. Ada di Bonbin*).” Atau, “Kata Ari dia datang agak siang….” Atau“Latihannya sore-sorean aja.” Hebatnya lagi, yang menyampaikan kabar itu bukanAce atau Yando saja, tapi semua teman: Amalia,Konar, Krisna, Ati Kamil, Donny, Pepeng, Ale, Ato, Gideon, Ncesz… juga Ical (where are you now, Ical?). Semua!  Kesulitan saya bertemu dan janjian dengan Aridipahami betul oleh teman-teman tercinta ini, sehingga setiap saat mereka siapmenyampaikan lokasi keberadaan Ari, tak peduli kami adajadwal latihan atau tidak.  Sungguhmenyenangkan, meski agak kurang bermanfaat. Karena tanpa jadwal manggung danlatihan, pertemuan kami -paling banyak- diisi dengan dua kata pendek, “Red!” dan sayaakan menjawab, “Ri!” Selesai.

Menurut Yando, kelakuan kami ini terlalu dingin untuk sebuahduet.  Ia sempat menduga kami berduabermusuhan.  “Eloe berdua nggak adaapa-apa, kan? Nggak berantem, kan?” tanya Yando pada suatu hari. Oh, kamibaik-baik saja, kok. “Terus kenapa nggak akrab gitu, sih?” Hmmm, kenapa ya?Saya juga tidak bisa menjawab. Tapi yang pasti suara kami lumayan akrabkok.  Selama itu berlangsung lancar,rasanya semua akan baik-baik saja. Bukan begitu, Ri?

Pada awalnya, kami latihan di kampus,  di ruang kecil di samping Bursa Sastra dankantor Tifa Sastra, di pojok Teater Sastra UI. Tempatnya tak terlalu luas, dan cukupnyaman. Ada (bekas) sofa, yang kalau angin sedang bagus, bisa kosong melompong:tak ada yang tiduran di situ.  Tapisetelah dua tiga kali latihan di sana, kami merasa perlu mencari tempat latihanlain. Tidak di kampus.
  
Begini, tempat kecil mungil itu ternyata lebih sering ramaidan padat teman-teman ketimbang sepi.  Saking ramainya, menemukan seperempat bangkubuat duduk saja, susah. Lalu, Ari ternyata amat populer. Jadi kalau dia sudahnongkrong di ruang itu, ada saja yang mampir. Ngajak ngobrol. Minta dimainkanlagu ini, itu, nyanyi bareng. Nah, saking sibuknya melayani penggemar, waktulatihan jadi tinggal sedikit. Kadang-kadang bisa tidak latihan sama sekali,karena saya harus ikut kuliah .Sementara buat saya, latihan itu amat sangatpenting, mengingat hubungan saya dengan lagu-lagu pilihan jauh dari harmonis.  

Lalu penyebab lainnya, kalau ini sih menurut saya, Ari ituingin memberi ‘kejutan’ pada mereka yang akan nonton nanti. Dan saya rasa inijuga berhubungan erat dengan ketidak-tahuan saya akan lagu pilihan (back to the main issue!).  Ya, bisa dimengerti sih. Teman-teman itu bisamalas nonton kalau tahu saya masih rengeng-rengeng untuk sebuah lagu yang sudahsangat mereka kenal. Beneran bisa nggak sih anak ini nyanyi lagu itu? Alih-alihbikin cemas, lebih baik ngumpet dulu, dan baru muncul setelah lancar. 

Pilihan pertama tempat latihan, adalah rumah saya yangjaraknya amat sangat dekat dari kampus itu. Bisa ditempuh dengan jalan kaki dan di rumah ada gitar.  Dan dia ternyatabisa langsung akrab dengan Mak. Jadi tiap kali datang, pasti ada sesiobrol-obrol antara Ari dan Mak. Tapiiiiiii….. saat itu rumah saya juga dihunioleh 5 ekor anjing. Dan semua merasa perlu untuk sumbang saran dan berperanaktif ketika kami berdua nyanyi. Dengan lolongan yang cukup variatif, merekamenemani kami berlatih. Ari sama sekali tidak keberatan sama sekali. Diakelihatannya sangat menikmati paduan suara dari anjing-anjing peliharaan adikdan bapak saya.  Tapi saya yang nggakenak hati dan terganggu dengan  suarayang tidak sejalan dengan kunci nada pilihan kami. Sehingga saya usul untuklatihan di tempat lain.

Tapi di mana?
Jawabannya ada di bagian berikut.

Monday, November 24, 2014

AriReda: Pada Mulanya (bg 1)













Ketika membuat tulisan ini, dalam waktu kurang dari seminggu saya akan menyanyi lagi di tanggal 30 November 2014 dengan Ari Malibu. Teman duet saya selama 32 tahun…

Lama banget? Nah, itulah yang jadi pertanyaan saya juga. Kalau sekarang, saya menjawabnya dengan kalimat, “Suara kami cocok, harmonisasi suara bisa berlangsung dengan mudah….” Tetapi kalau itu ditanyakan saat awal duet dulu, maka bisa jadi jawaban saya, “Karena dipaksa sama Pepeng nyanyi bareng. Lagipula nyanyi kan menyenangkan, jadi kenapa nggak?”

Bermula dari ruang sempit di samping Teater FSUI
Saat kuliah, saya baru mengenal kegiatan yang bernama inisiasi. Tujuannya mengenalkan kegiatan perkuliahan di jurusan masing-masing meski pada kenyataannya semacam perpanjangan masa perploncoan. Jurusan saya –Sastra Prancis—selalu kekurangan tenaga penginisiasi, khususnya para mahasiswa. Untuk itu, selalu minta tolong pada kakak-kakak dari jurusan Antropologi dan Arkeologi untuk membantu. Mengikuti tradisi juga, setelah diinisiasi di tahun pertama, di tahun berikutnya angkatan saya kebagian tugas cuci piring dan sapu-sapu. Nah, setelah beres, layaknya batur pada umumnya, saya pun cari hiburan. Tepatnya menghibur diri dengan iseng main gitar di bawah pohon, menghadap kolam renang…. Duh, rasanya seperti ada di pojok Los Angeles, Hollywood mana gitu. Ternyata di belakang saya berdiri sang selebriti: Pepeng. Dengan suara menggelegarnya, dia menegur, “Bisa nyanyi, lo?” Hmmm, kelihatan dan kedengarannya bagaimana? Nyanyi atau ngomel? Lalu dia meneruskan begini, “Ntar abis inisiasi, langsung ke ruang sebelah senat ya. Gue ada urusan sama elo. Awas kalau nggak. Oke?” Urusan? Urusan apa? Kenapa kita punya urusan lagi? Bukankah OSPEK sudah selesai, dan kita sekarang posisinya sejajar. Tak ada lagi kakak senior dan adik junior, bukan? Tapi sudahlah. Pokoknya timbang repot, bilang ya saja dulu. Besok, setelah inisiasi selesai, kita atur lagi…

Inisiasi tamat di hari Minggu. Hari Seninnya, saya berjalan di koridor ruang senat. Tiba-tiba, ada yang berteriak –agak menggelegar- memanggil nama saya. PEPENG! Terpaksa membelok, menemuinya. Tanpa tanya ini itu, dia langsung menyuruh saya duduk di sebelahnya. Di seberangnya duduk seorang mahasiswa lain. Lalu Pepeng bilang, “Ari, ini Reda. Reda ini Ari. Elo berdua kenalan, nanti gue ajak satu orang lagi biar bisa jadi trio. Oke? Abis gue kuliah, gue musti lihat eloe udah nyanyi bareng. Oke? Oke!” Halooooooo! Sinting orang ini: kenalan baru sekarang, sudah disuruh nyanyi-nyanyi. Tetapi –sekali lagi- saya menurut. Ari juga. Berdua kami manggut-manggut. Sampai agak sore, kami menunggu…. Orang ketiga yang membuat kami jadi trio –Kiki Maria—tak kunjung datang.

Nah, dengan cuma ada dua orang ini, apakah kegiatan menyanyi harus terus jalan? Menurut Ari, sebaiknya terus jalan. Tapi mau nyanyi apa? Saya betul-betul tidak punya ide. Bahkan ide untuk memulai percakapan saja, tidak ada. Saya lebih pusing memikirkan kegiatan bikin PR bersama di Taman Sastra. Jadilah kami berdua duduk diam-diam.

Agak siang, Pepeng datang, memeriksa kegiatan kami sudah sampai di mana. Ketika tahu belum ada lagu yang digarap, matanya melotot, seperti mau copot. Ia tidak bisa terima. Harus ada lagu yang bisa didengar dari duo dadakan ini.

Saat itu, saya sungguh menyesal karena lagu yang saya tahu cuma lagu-lagu tua. Terbayang hobi saya meniru suara Cliff Richard di lagu When A Girl In Your Arms. Setengah mati saya mengejar nada terendah Cliff. Atau mati-matian mengikuti cengkoknya Connie Francis di lagu Stupid Cupid, suara malasnya Debbie Harry di lagu Heart of Glass, dan vibrasi Elvis Presley di Are You Lonesome Tonight? Kenapa, oh kenapa? Semua itu tidak bermanfaat di ruang kecil sempit yang penuh dengan kakak-kakak Antrop ini. Dan Ari.

Makin frustrasi ketika Ari menyebutkan nama penyanyi dan lagu-lagu yang ingin kami bawakan. John Denver? Oh, seperti apakah lagu dari Mas John asal Denver ini? Pasti beda kalau namanya berubah jadi John New Orleans….

Pengetahuan lagu saya memang sangat kebangetan kacaunya. Lagu Donna-Donna yang wajib dikuasai semua di masa itu saja saya nggak tahu. Beatles? Saya cuma tahu lagu yang berirama cepat, bisa buat lompat-lompat. Itu pun saya baru saya dengar di pesta perpisahaan SMA. Kacau! Bagaimana saya bisa sampai buta lagu begini? Saya tak mengerti. Mungkin karena saya memang tak pernah konsentrasi untuk nyanyi-nyanyi. Lagu yang lewat di telinga, kalau terasa enak, akan saya ingat melodinya, dan sebaris dua baris liriknya (saya parah banget untuk urusan lirik, suka ngawur dan ngarang-ngarang seenak rasa). Beda dengan adik saya, Grace, yang langsung bisa menangkap lirik dengan tepat.

Kalau dibuat daftar, perbendaharaan lagu saya sebetulnya lumayan. Saya bisa menyanyikan 20 lagu Cliff Richard (hafal karena terpesona oleh kegantengannya), Carpenters, Gilbert O’Sullivan, Koes Plus (hafal semua versi Nusantara-nya dengan lagu favorit Kelelawar), Titiek Sandhora, Lilies Surjani, Connie Francis, Jim Reeves, Francoise Hardy… Beberapa penyanyi baru, saya peroleh karena di asrama, teman-teman rajin memutar lagu asyik-asyik: Blondie, Barry Manillow, Ebiet G. Ade, seri LCLR, Album Badai, Grease, Andi Meriem Mattalata (yang album Bahtera Asmara itu)… Tapi, semua itu tak bermanfaat karena menurut Ari yang terus main gitar selama kami mengobrol, nggak cocok. Sama sekali! Gawat.

Karena merasa terintimidasi dengan deadline yang diberikan Pepeng, akhirnya Ari memutuskan kami menyanyikan lagu Fly Away dari album John (yang bukan dari) Denver. Di situ ada Olivia Newton John yang jadi partner nyanyinya. Tetapi untuk versi AriReda, saya mengambil suara John, dan Ari mengambil suara Olivia. Eh, lumayan juga. Setidaknya buat Pepeng. Matanya tidak melotot. Kepalanya mengangguk-angguk. Fiuh!

Tapi Pepeng mau dua lagu.
Ari –saya rasa saat itu dia sudah putus asa dengan partner nyanyinya ini- mengusulkan saya mencari lagu dari koleksi John Denver, siapa tahu ada yang saya suka dan bisa dinyanyikan. Dan saya menemukan lagu yang saya suka melodinya: How Can I Leave You Again.

Begitu saya sampaikan lagu itu kepada Ari, komentarnya, “Bagus tuh. Tapi nyanyi sendiri ya. Gue mau main sama anak-anak Oplet nih. Gak sempet latihan dua lagu.” Heh? Kok gitu? Tapi sialnya saya suka sekali lagu ini, dan ingin menyanyikannya. Jadi…. Saya nyanyi sendiri pun. Tak mengapa. Saya senang meski potongan kayu tempat kaki saya bertengger nyaris terguling karena grogi hebat. ☺

Menabung Lagu
Setelah acara itu saya bertekad untuk menambah perbendaharaan lagu. Khususnya yang cocok dengan bayangan Ari dan Pepeng tentang duo kami ini. Banyak lagu pilihan yang belum pernah saya dengar sebelumnya, seperti Luck of the Irish-nya John Lennon & Yoko Ono, Junk-nya Paul McCartney, She’s Leaving Home-nya Beatles, He Was My Brother-nya Simon & Garfunkel, Backstreet Girl dan Ruby Tuesday-nya Rolling Stones. Tapi banyak juga yang saya kenal dan kaget ketika dipilih jadi lagu kami. Seperti What A Feeling-nya Irene Cara, Give Your Best To Your Friend, Angel of the Morning, Too Young To Be Married….
Patokannya apa ya? Karena tak paham arah, maka saya membeli kaset lagu sebanyak-banyaknya, apalagi saat itu sempat terjadi obral kaset sebelum ada system pemasangan stiker pajak.

Karena merasa tidak tahu banyak, dan harus tahu banyak, saya kalap mencari tahu soal lagu, penyanyi, apa saja! Yang saya pegang cuma satu: kalau di telinga enak, beli.

Koleksi kaset saya yang tadinya sangat sedikit, mendadak banyak. Sayangnya, kaset-kaset yang saya beli, sebagian besar tetap tidak masuk dalam kategori pilihan Ari. Tapi, kalau jadi Ari, saya juga pasti bingung menghadapi saya saat itu. Karena mendadak koleksi lagu saya bergerak dari ekstrim yang satu ke ekstrim yang lain dengan kecepatan tinggi. Dari yang seleranya jadul abis, mendadak fanatik pada Mike dan Sally Oldfield, Jean-Michel Jarre, juga Allan Parson Project. Atau pada Annie Haslam-nya Rennaissance, yang saya pelajari tarikan suaranya di lagu Rockalise tanpa kenal waktu (sampai Mak saya teriak-teriak karena bosan dan sakit kepala mendengar suara yang melengking tinggi, naik turun tanpa rem). 

Sampai hari ini, kegemaran mencari lagu tidak berhenti.
Dan pertanyaan suka lagu apa, jenis apa, tetap tidak bisa saya jawab. Ngaku suka country, saya tidak kenal lagunya Blake Shelton dan tak terlalu suka pada Dolly Parton. Ngaku suka rock, saya cuma suka Queen dan CCR. Ngaku cinta jazz, saya nggak suka Pat Matheny. Tapi saya cinta Imelda May, Feist, Eva Cassidy, Caro Emerald, Mumford & Sons, Rumer, semua koleksi Putu Mayo. Tanpa melupakan Connie Francis, Beach Boys, Carpenters…. Ya, sepanjang enak di kuping, ambil!

Repertoar Gado-gado
Dalam perjalanan duet yang dimulai dari bulan Oktober 1982 ini, kami memang jadi suka-suka memilih lagu. Kadang-kadang berdasarkan permintaan teman-teman yang sayang kepada kami. Ace Ursulus Diafmart (almarhum), misalnya, memaksakan lagu Junk untuk kami nyanyikan. Selly Riawanti bertanggung jawab atas She's Leaving Home. Sementara Zeffry Alkatiri menyumbangkan Luck of the Irish. Di satu masa, kami menyanyikan Don’t Cry For Me Argentina-nya Sarah Brightman, lalu beberapa nomor Joni Mitchell, More than Words-nya Extreme, sampai Will Always Love You-nya Whitney Houston! Ngacak abis dan beragam sungguh tipis bedanya. Saya pikir di masa itu kami berdua –tanpa kesepakatan—memilih lagu yang enak di kuping, yang sedang hits. Simon & Garfunkel agak terlupa, meski The Boxer tak pernah pergi dari daftar lagu wajib kami.

Pencaharian lagu kadang bisa sangat mudah. Tetapi lebih sering sulitnya. Meski sama-sama sadar mencari lagu yang enak di kuping, yang sedang hits, tetap saja pilihan saya dan Ari sering bentrok. Karena yang enak buat Ari, terdengar aneh buat saya. Dan sebaliknya. Dalam banyak kesempatan, saya sering menyerahkan pilihan lagu pada Ari. Karena biar bagaimana pun juga, dia tahu lebih banyak lagu.

Setelah menemukan lagu, maka kami masuk ke tahap yang amat menyenangkan: bermain dengan lagu itu. Siapa saja bisa jadi suara satu, dan dengan enaknya belok ke suara dua, dan kembali lagi ke suara satu, atau mengambil suara tiga. Tidak ada yang kaget, pusing, atau terganggu dengan perubahan di tikungan-tikungan lagu.  Semua berjalan begitu saja dan tiba-tiba sebuah lagu selesai. Menurut sahabat kami, Yando Zakaria, itu keunikan AriReda. Lagu-lagu yang biasa dikenal mendadak jadi seperti lagu baru. Seperti lagu Here, There and Everywhere milik Beatles. Saya tak kenal lagu itu. Dan ketika Ari memainkan intronya, saya nyelonong dengan bait pertama Longer-nya Dan Fogelberg. Lho, kok bisa? Ya, karena saya kira itu lagunya Dan Fogelberg. Kalau ternyata bukan, mohon dimaafkan. Terlanjur dinyanyikan, dan teman-teman suka, kami teruskan saja.

Dan itulah yang terus berlangsung.
Sampai hari ini.

Monday, November 17, 2014

'Aku Ingin' ~ Ari-Reda





Bertambah lagi video Ari Reda.

Aku Ingin

Puisi: Sapardi Djoko Damono

Musikalisasi: Ags. Arya Dipayana

27 September 2014

@CoffeeWar

Thursday, November 13, 2014

Wednesday, August 4, 2010

Bentara Budaya Bali: Puisi Tidak Lagi Jadi Beban


Putu Fajar Arcana

SETIDAKNYA sejak kemunculan duet Ari Malibu dan Reda Gaudiamo, pelisanan terhadap puisi tidak lagi menjadi beban. Puisi diperlakukan sebagai ”makhluk” sehari-hari yang hidup dan terus membuka dirinya terhadap tafsir baru.

Penyebaran cara menikmati puisi dengan menggubahnya ke dalam bentuk musik ini kemudian dilakukan lewat pita kaset. Ari dan Reda terlibat dalam album ”Hujan Bulan Juni” tahun 1989 yang digagas oleh penyair Sapardi Djoko Damono. Tonggak ini yang ingin dijadikan momentum oleh Bentara Budaya Bali (BBB) untuk membuka berbagai kemungkinan di dalam mengapresiasi puisi. Lembaga ini kemudian menggelar Pentas Puisi Bentara, 30-31 Juli 2010, dengan mengundang duet Ari dan Reda.

Diundang pula kelompok Jogja Hiphop Foundation serta Band Bali, yang memiliki kecenderungan serupa di dalam menafsir puisi. Mohammad Marjuki yang menjadi motor Jogja Hiphop Foundation melantunkan puisi-puisi berbahasa Jawa karya Sindunata dalam irama ”jalanan” bernama hip hop. Sementara Tan Lioe Ie bersama sekelompok pemusik yang tadinya beraliran rock menembangkan puisi dalam irama blues yang melodius. BBB juga memberi gambaran betapa sejak awal puisi sangat dekat gayutannya dengan kitab suci. Kelompok Sasi Wimba yang digerakkan oleh penyair Mas Ruscitadewi menafsir bait-bait dalam Weda dengan cara yang amat ”populer”, bahkan penuh canda. Ruscitadewi bersama penata musik Made Subandi mengolah puisi-puisi yang disucikan itu ke dalam irama musik yang terasa ”baru” meski menggunakan instrumen musik tradisi.

BBB juga tetap memberikan ruang kepada para penyair, seperti Oka Rusmini, Wayan Sunarta, dan Pranita Dewi, untuk membacakan puisi mereka dengan cara ”biasa”. Tampaknya cara ini dimanfaatkan untuk menunjukkan kilasan-kilasan berbagai perspektif di dalam menerjemahkan puisi. Kecenderungan itu makin tegas ketika tampil pula dramawan Putu Satria Kusuma bersama kelompok Kampung Seni Banyuning Singaraja. Putu mendramatisasi puisi ”Dewi Padi” karya Made Adnyana Ole dengan gerak ritmis seorang dewi di tengah pergolakan yang cenderung menyepelekan keberadaan petani dan sawah.

Rileks

Ari dan Reda sungguh-sungguh tidak menduga bahwa apa yang mereka lakukan pada tahun 1980 masih melekat pula pada generasi terkini. Ketika mereka melantunkan bait-bait puisi Sapardi, anak-anak sekolahan tak henti-hentinya ikut bernyanyi. ”Saya terkejut, kok mereka hafal lagu-lagu ini,” tutur Ari Malibu.

Seusai bernyanyi, keduanya bahkan dikerubuti pengunjung. Ada yang bahkan tak henti-hentinya mengajak Ari dan Reda berfoto. Kenyataan ini setidaknya memberikan gambaran bahwa tafsir puisi dengan musik atau lewat cara-cara populer lainnya membuat puisi bisa melampaui garis ”pemisah” yang selama ini mengungkungnya ke dalam wilayah yang amat eksklusif. Sebelumnya, puisi seolah hanya bisa dan mampu dinikmati oleh kalangan terbatas dan itu pun dengan dahi yang berkerut-kerut. Dahulu puisi selalu berada dalam situasi ambigu. Di satu sisi ia dianggap sulit karena berkulit, sisi lainnya muncul pula kata-kata seperti ”puitis” pada kelompok awam untuk menyatakan sebuah perasaan yang mendalam tentang sebuah ungkapan.

Meski sebelumnya WS Rendra dan Remy Sylado telah merekam suara mereka ketika membaca puisi, puisi tetap belum diberi tafsir dengan menonjolkan unsur-unsur musikalitas yang ada di dalamnya. Rendra memang harus diakui telah menjadi tonggak berkembangnya pelisanan puisi dengan apa yang kemudian dikenal sebagai deklamasi. Pembacaan puisi menjadi begitu heroik dan penuh protes. Protes-protes itu seolah mewakili ungkapan terpendam publik terhadap kediktatoran rezim. Dan ini berlanjut pada masa reformasi, di mana puisi diberi ”tugas” berat mewahanai unjuk rasa para peserta demonstrasi.

Ari dan Reda berbeda dengan apa yang dilakukan kelompok Bimbo bersama penyair Taufik Ismail. Mereka lebih rileks di dalam menafsir puisi. Puisi tidak lagi harus dijadikan media untuk melakukan pendalaman spiritual walau mungkin nanti akibatnya juga sama. Ini terdapat pula pada Marjuki, Tan Lioe Ie, dan Mas Ruscitadewi, yang mewakili generasi populer, lalu menafsir puisi ”tersuci” sekalipun dengan bahasa terkini yang mereka akrabi sehari-hari. Puisi tidak lagi harus dikait-kaitkan dengan persembahan, heroisme, dan aksi demonstrasi. Barangkali cara ini justru telah melepaskan puisi dari segala beban yang dilekatkan kepadanya sebagai sebuah karya sastra.

Dalam kata-kata kurator Pentas Puisi Bentara, Warih Wisatsana, ”Puisi hendaknya tidak diberi beban berlebih, tetapi biarkan ia terus tumbuh melampaui zamannya sehingga daripadanya kita bisa menghirup sari-sari yang alami....” Sebaliknya, bagi generasi terkini, puisi tidak lagi dianggap beban. Ia bahkan bisa saja ditafsir dengan cara populer yang bisa dinikmati bersama untuk merayakan sebuah kegembiraan….

Sumber: Kompas, Minggu, 1 Agustus 2010
foto: KOMPAS/BENNY DWI KOESTANTO

Monday, March 9, 2009

Menyanyikan Puisi Setiap Bulan

Mulai bulan Desember tahun lalu, Ari Reda kembali tarik suara cukup rutin, tepatnya sebulan sekali.
Setiap Jum'at terakhir di setiap bulan, kami muncul di NEWSEUM CAFE, di Jl. Veteran I/33, Jakarta.
Cafe yang terletak di lantai dua dari sebuah bangunan tua (tempat Matahari & Westerling pernah tinggal) ini, tak jauh letaknya dari Ice Cream Ragussa yang terkenal itu.

Pada hari Jum'at, mulai dari jam 8 malam, kami menyanyi di sana.
Bulan Desember, kami menyanyikan puluhan lagu-lagu lama jaman kuliah dulu.
Bulan Januari, kami mengusung tema Moon, Stars and Dark Blue Sky dengan bintang tamu Jubing. Ya, maestro gitar kita.
Dan bulan Februari yang baru lalu, AGS Arya Dipayana yang mengkomposisi Aku Ingin, jadi bintang tamu. Ia menghadirkan belasan nomor lagu. Baik dari puisinya sendiri yang dibuat lagu sendiri, puisinya yang lagunya dibuat oleh orang lain, dan puisi orang lain yang ia buatkan lagunya.

Di bulan Maret ini, kami akan membawakan lagu-lagu puisi kembali.
Sekali ini, kami ingin membawakan musikalisasi dari sajak-sajak Sapardi Djoko Damono.

Bila sempat, mampirlah!
Tg. 27 Maret 2009
Newseum Cafe, Jl. Veteran I/33, Jakarta
(dekat Istiqlal & Ice Cream Ragussa)
Dari jam 8 malam hingga selesai.


Sampai jumpa, Teman!
r

Saturday, January 24, 2009

Duet Ari & Reda

Dharmawan Handonowarih


Saya sudah bisa membayangkan. Lagu yang bakal dinyanyikan. Puisi-puisi itu. Suara yang bening dan bergetar. Bahkan posisi duduknya. Yang perempuan akan menutup sebagian telinganya. Atau membetulkan letak kaca mata. Ada buku lagu di atas music stand. Ada senyum tiap kali selesai menyanyi. Dan kesederhanaan itu. Sudah saya bayangkan. Tapi ketika ada berita mereka akan manggung, toh saya akan berusaha hadir. Menonton kembali. Lalu menunggu lagu itu dinyanyikan. Lagi.

Seingat saya, saya pertama kali nonton mereka pada 1982 di halaman Taman Sastra FSUI di Rawamangun. Di bawah pohon flamboyan yang kering. Mereka menyanyikan Here, There, And Everywhere. Saya duduk di pinggir got. Semua penonton diam. Mungkin tahan napas. Lalu keplok panjang. Keduanya lantas menghilang. “Orang sederhana dengan lagu sederhana, tapi begitu istimewa.”

Sejak saat itu, saya berharap bisa mendengar lagi. Memang, saya melihatnya melintas di depan kantor pos kampus. Memang, langkahnya cepat seperti dikejar orang. Memang, masih dengan T-shirt, celana jins, dan sepatu karet. “Itu dia penyanyi dengan suara hebat.” Tapi kapan dia nyanyi lagi dengan rekannya yang keriting itu?

Tujuh tahun sesudahnya, saya baru bisa nonton lagi. Pada 1989, saat bekerja di HAI, saya datang ke Pesta Seni Bulungan. Bukan tugas kantor. Saya mau melihat lagi duet maut itu. Juga memotret dengan kamera pinjaman. Dan sehari kemudian terjadilah adegan itu, di tempat saya kerja, Palmerah Selatan lantai 5.

“Gue mau menulis Pesta Seni Bulungan,” kata Elwin Siregar, freelancer baru, pindahan dari Femina Grup, yang waktu itu menulis dengan inisial Nari, kepada Iwan, teman SMP-nya, yang menjadi redaktur di HAI.
“Emang ada fotonya, Tak?” tanya Iwan (Iwan memanggil temannya itu dengan ‘Batak’).
“Tuh, dia kan kemaren motret,” kata Elwin sambil menunjukkan dagunya ke arah saya (dia waktu belum kenal saya).

Elwin lalu menuliskan di HAI No. 52 yang terbit 29 Desember 1987. Sebuah tulisan di halaman belakang:

Yang justru merebut simpati penonton adalah pasangan Ari dan Reda. Tampil seadanya, tanpa pretensi apa-apa, pasangan ini mengundang keplok penonton. Padahal, mereka juga mengalami gangguan pada sound system ketika meluncurkan nomor-nomor dari Paul McCartney dan Art Garfunkel. Cuma, itulah, mereka tak hendak tampil profesional. Sesuatu yang mungkin berlebihan di dalam pesta seni yang sekaligus juga tempat reuni.

Ya, yang saya maksud duet ini adalah Ari & Reda. Nama yang enak diucapkan, seperti mendengar kemerduan suaranya. Bukan hanya karena ada R di tengah, tapi juga A di bagian belakang. “Menyanyi tanpa pretensi apa-apa”, akhirnya terpatri di kepala. Tiap kali menonton mereka.

Dia di kantor saya

Tahun berganti, si penyanyi itu akhirnya jadi rekan kerja. Baru tahu sekarang, ada nama tengahnya: Linda (pertama mendengar, agak menggelikan, karena sama dengan merk mesin jahit ibu saya). Ia menulis film, bikin terjemahan cerpen asing, dan banyak lagi. Termasuk ikut ke Pesta Pelajar HAI di Malang yang meriah. Tapi pertemuan dengan penyanyi ini tidak lama. Ia hamil, cuti, dan menghilang. “Maaf saya tidak bisa bergabung lagi. Sejak ada si kecil, saya seperti ‘paralyzed,” katanya, dalam sepucuk surat ditulis tangan. Anehnya, justru setelah pindah ke tempat kerja yang lain, dia malah sering mampir. Tentu saja, teman-teman di HAI setengah memaksa ia nyanyi.

Elwin selalu minta lagu yang sama, Mother of Mine. Agam Jaya ikut nyanyi dengan suara fals. Anton Diaz meminta lagu lain, sambil bercakap dalam bahasa Perancis (mereka satu jurusan). Sementara Daus, fotografer jebolan jurusan Rusia, mula-mula menikmati lalu dilanjutkan dengan tidur. Dan, mendengkur. Abi Hasantoso minta lagu kesayangannya, Bridge Over Trouble Water, sembari nimbrung di bagian refrain (dan kehabisan napas). Daru Paramayuga menghentikan kerja desainnya, karena mau mendengarkan getaran vokal Reda saat membawakan The Boxer (untuk ditiru keesokan harinya bersama saya, dan tentu saja gagal).

Ari Malibu baru saya kenal sesudahnya. Waktu itu ia membuat album dengan bendera LFM (Last Few Minutes). Denny MR, penulis musik di HAI, menyebut grup yang juga didukung oleh Ridho Hafiedz (sekarang gitaris Slank) ini sebagai grup rock alternatif. LFM diajak HAI ke ajang Pesta Pelajar di Jakarta dan Bandung. Banyak ngobrol dengan Ari, saya pun baru tahu kalau ia punya aksen seperti orang pesisir Jawa Tengah alias Tegal. Waktu akan manggung di stadion Gasibu, Bandung, saya keluar hotel Santika. Memborong banyak lilin dari kios rokok. Lebih dari sepuluh pak. Maunya, pas lagu Warik, saya akan bagikan lilin itu ke penonton di bagian depan. Sayang, panitia melarang. “Nanti malah buat bakar-bakaran.” Mungkin panitia tahu, saya berlebihan. Tapi sampai sekarang, lagu Warik memang tetap enak. Mungkin hanya Ari Malibu yang cocok melantunkannya. Keindahan suara ini yang muncul kembali ketika ia membawakan Sonnet: X pada album Becoming Dew.

Duet itu kami undang

Dari sekadar penonton, kenal sebagai rekan kerja, akhirnya datanglah kesempatan sebagai pengundang. Garin Nugroho diundang Teater Utan Kayu untuk membacakan puisi-puisi cinta. Ia bertanya, harus tampil bagaimana. Lalu muncul ide agar ada iringan duet nyanyian cinta dari Ari & Reda. Kami berkumpul di Plasa Senayan. Membahas semua kemungkinan. Sayangnya ide itu tidak berlanjut.

Kesempatan kedua datang saat bersama Enrico Halim, kami mengusahakan dibukanya kembali Teater Dalam Gang Tuti Indra Malaon, sebuah gedung pertunjukan mungil milik Teater Populer. Lokasinya di gang Kebon Kacang, tidak jauh dari bak penampungan sampah. Kami mendiskusikan, pembukaan apa yang pas. Teguh Karya, pemimpin Teater Populer, adalah maestro film yang hidup dan bersikap dalam kesederhanaan. Tapi melahirkan film-film yang bermutu, dengan tema-tema yang tidak jauh dari kehidupan sehari-hari. Waktu itu sedang sakit-sakitan. Setelah mendiskusikan berbagai hal, akhirnya ketemu juga: pertunjukan Ari & Reda, pemutaran film Ibunda, dan menikmati bubur ayam bikinan ibu Josephine Komara (Obin). Klop.

Teguh Karya waktu itu masih hidup dan turut menyaksikan. “Tempat yang kayak gini nih kan diperlukan,” katanya terbata. Akulah Si Telaga, dipersembahkan oleh Ags Aryadipayana kepada maestro film itu. “Karena Pak Teguh adalah Telaga juga,” kata sutradara teater itu. Malam itu tampil sisi indah kesederhanaan. Sebelum manggung, Ari & Reda latihan kecil di teras belakang. Ari datang dari Ciputat yang macet, Reda habis deadline di majalah Cosmopolitan. Saya siapkan Coca Cola dingin untuk keduanya. Tapi?

“Elo ada-ada aja Wan,” kata Ari. “Masak mau nyanyi dikasih es.”
“Kita biasa makan ini,” kata Reda sembari mengunyah kencur. Kencur? Rempah-rempah yang berbau menyengat itu dikunyah Reda mentah-mentah. Katanya, akan membuat suaranya lebih terjaga.

Malam itu mereka membawakan lagu-lagu dari theme song sejumlah film. Termasuk film Cinta Pertama, yang diciptakan Idris Sardi. Di samping kebiasaan makan kencur (yang saya ketahui juga dilakukan saat ketemu di belakang panggung Newsmuseum), saya juga tahu bagaimana sensitivitas suara dan pendengaran Ari. Waktu itu, ia mencek dengan teliti peralatan sound system. Dan nyaris tanpa masalah. Jauh hari, Reda sudah berpesan kepada saya, “Sebaiknya pakai sound system yang biasa digunakan Ari supaya dia bisa klop.” Tata suara yang buruk, masih pesan Reda, akan membuat Ari kehilangan mood. Dan itu berbahaya. Nasihat ini saya turuti. Pertunjukan berlangsung sukses. Penonton bahkan ikut bernyanyi di ruang teater berbentuk tapal kuda itu. Udara panas. AC belum dipasang. Tiap penonton dipinjami kipas sate. Pertunjukan usai, obrolan berlanjut di teras belakang. Besoknya, foto duet ini muncul di harian Kompas.

Berkumpul Lagi
Sampai akhirnya terdengar kabar Ari sakit. Kalau tidak salah empedunya terganggu. Kabar ini saya ketahui dari Nana, kawan mereka juga. Barangkali ini yang membuat duet itu kemudian jarang muncul. Benarkah Ari bakal susah berduet lagi? Sebelum menjawab ini, saya tanyakan ke Denny MR, teman yang hidupnya dihabiskan untuk mendengarkan musik Indonesia.

Kesan apa yang didapatnya setiap kali mendengar duet ini? “Duet ini istimewa. Suara Ari itu begitu ‘ringan’ dalam arti bening. Klop dengan suara Reda yang agak ‘bergetar’. Mereka cocok dengan lagu-lagu balada. Jangan berikan lagu yang rock,” katanya. Seperti biasa, dia serius. Katanya, lagi, mestinya dalam industri rekaman, suara mereka punya tempat. “Gue enggak tahu ya kenapa mereka nggak masuk industri.”

Entah oleh musabab apa, duet ini pernah terancam pisah. Di sebuah parkiran mobil Palmerah, Ari menumpahkan kekesalannya. Saya tidak mau ikut bertanya. Atau menyelidik. Saya mendengarnya dengan rasa menyesal. Bukankah saya masih menyimpan kemauan, bikin konser dengan judul, “Dengan Kepala Dingin”. (Waktu itu, cuaca politik di Jakarta kisruh dengan banyak pernyataan serba mengancam dari militer. Mungkin mendengar lagu-lagu dari Ari & Reda akan jadi semacam oase. Cari kesejukan sedikit).

Waktu bisa menyelesaikan masalah. Mungkin. Kenyataannya, suatu siang, Reda mengabarkan berita gembira. Duet itu akan nyanyi kembali! Mereka bertemu di Bentara Budaya. Dan ajakan itu meluncur begitu saja. Lalu disanggupi. Kabar yang menggembirakan. Ari & Reda bernyanyi lagi. Sayang, konser di Wapres (Warung Apresiasi) itu tak sempat saya tonton karena mendadak badan meriang.

Hitung sendiri, sudah berapa lama duet ini, sejak awal manggung di taman sastra UI. Mereka telah membentuk komunitasnya sendiri. Seperti dengan sistem sel: temen-temen dari temen-temen-temennya Reda atau temenya temen dari temen-temennya temen Ari. Dari Fakultas Sastra (sekarang FIB), lalu FISIP, termasuk “kampus” mereka yang lain: dunia kerja. Bagaimana menggambarkan dunia kerja ini, suatu kali di kedai kopi Cikini, si penyanyi yang suka berjalan cepat di depan kantor pos itu berkata, “Kalau diitung-itung, kerjaan gue sekarang ini adalah yang ke-13!” Bukan hanya Reda, saya kira, Ari pun mempunyai kesibukan yang tak kalah seru.

Satu dengan yang lain melahirkan teman dari latar yang berbeda-beda. Uniknya, sejauh-jauh langkah mereka, keduanya akan duduk kembali di kursi itu, menghadapi buku lagu, dengan kidung merdu. Seperti penonton-penontonnya: sesibuk-sibuknya, akan berhenti sejenak, begitu ada undangan nonton duet ini. Kapan? Di mana? Si anu ikut nonton juga nggak? Seperti peluit kereta di stasiun pemberhentian. Sebuah jeda untuk menikmati kesederhanaan: lagu, puisi.. dalam suara bening dan bergetar itu. Keren banget tulisan Cenil:

… dinyanyikan oleh orang yang sama, didengarkan bersama orang-orang yang sama. Gembira tak bisa jadi kata yang tepat. Bahagia mungkin lebih dekat.

Saya sudah bayangkan. Lagu yang bakal dinyanyikan mereka. Puisi-puisi itu. Posisi duduk mereka. Ada buku lagu. Ada senyum. Tapi ketika ada berita mereka akan manggung, toh saya akan berusaha hadir. Menonton kembali. Lalu menunggu lagu kesayangan itu dinyanyikan. Lagi. Rindu, haru, seru. Itulah dia, Ari & Reda.