Sunday, January 28, 2007













:becoming dew, sudah lahir.
Sudah dipestakan.
Sudah dirayakan bersama.

Dan semua itu terlaksana berkat bantuan banyak teman dan sahabat kami yang luarbiasa!

Ade Latief, yang pertama kali mencetuskan ide (dan ngotot pula!) agar Ari Reda kembali menyanyi dan sebagai konsekwensinya, hampir setiap malam minggu rumahnya yang lapang di Bintaro kami jadikan tempat latihan tarik suara (sampai jam 11 malam... apa pikir tetanggamu, ya De?)

Eddie Prabu : untuk percakapan panjang di setiap malam dan pagi, dukungan semangat yang tak pernah surut untuk apa pun yang ingin dikerjakan oleh pasangan hidupnya. TOUT!

AGS Arya Dipayana, yang tidak henti-hentinya memberi dorongan semangat, membuatkan lagu dalam tempo yang sesingkat-singkatnya (termasuk re-make Lima Sajak Empat Seuntai), dan mengatur malam peluncuran :becoming dew menjadi begitu meriah! Canggih banget! Hebat banget! Belum lagi bantuan kagetan yang tak terduga di sepanjang perencanaan dan pelaksanaan pertunjukkan dan dikerjakan diam-diam bersama The 'A' team-nya.

Soca Sobhita, gadis muda yang selalu siap memberi nasihat dan semangat ketika ibunya mulai emosi, tak sabaran atau malas latihan.

Budiman Hakim: untuk Metamorfosis dan Pada Suatu Pagi Hari (ternyata banyak yang suka, Bud!) dan penyebaran undangan yang luar biasa, sampai Wapress hampir meletus

Cak Sukardi Rinakit, yang sejak pembuatan album terdahulu sudah membantu segala sesuatunya.

Dharmawan Handonowarih, kompor api biru yang rajin memompakan semangat, sampai ngotot membuat pertunjukkan kami berdua bila bersedia nyanyi lagi, lagi dan lagi.... apa pun risikonya!

EKSOTIKA KHARMAWIBHANGGA INDONESIA alias EKI -- lengkap dengan Rusdy Rukmarata, Sujiwo Tedjo, Aiko Senosoenoto, Iwan Setyawan, Frisca, Tinny, Aldi, Jonathan dan teman-teman di jalan Padang, yang dengan sangat sungguh plus telaten mengatur dua orang keras kepala ini mulai dari plan marketing sampai menyediakan tempat yang sangat bagus akustiknya untuk GR dan latihan di jam-jam aneh (semoga sabar selalu....).

J A F Rane yang membuatkan blog buat kami, lengkap pake foto dan terus menyebar luaskan info terkini tentang Ari Reda (you're marvelous, J A F!).

Aulia yang super semangat membantu mulai dari mencari cd box, handuk kecil, kaset, obat batuk China di Kota yang ruwet dan macet, mencatat setiap hasil pertemuan, menemani saat latihan dan rekaman dan akhirnya kebagian tugas memasukkan cd ke dalam kotaknya.

M. Umar Muslim, dengan lagu-lagunya yang membuat banyak orang jadi mengenal kami berdua, dan telah bersedia datang jauh-jauh dari Depok bersama Utty, istri tercinta.

Mimi Larasati, untuk Ketika Kau Tak Ada. Semoga berita ini sampai juga meski kau sedang berada di Paris.

Mas Yoyik & Mas Noor yang memberi kami begitu banyak kemudahan dan bantuan yang sungguh hebat, sehingga :becoming dew bisa lahir dengan selamat di Wapress.

Wiwiek --sang kekasih yang penuh cinta, Gentha --putri sulung yang ikut mengisi acara dengan baca puisi, Jerras sedang sakit, mengirim doanya untuk kesuksesan ayah dan partner nyanyinya, serta Gazza, the little warrior!

Bapak Sapardi Djoko Damono yang mengijinkan kami berdua menyanyikan lagi dan lagi sajak-sajaknya.

John H. McGlynn, yang mengijinkan terjemahan sajaknya kami jadikan lagu.

Happy Salma & Wulan Guritno untuk kesediaannya datang dan membacakan sajak

Harris Saus dengan suara indahnya menggetarkan Wapress lewat pembacaan sajak-sajaknya (mungkin harus menyanyi juga suatu hari nanti)

dan kehadiran ...
Neenoy dan Dissy, yang dengan tekad bulat membelokkan arah roda dari tujuan pulang ke Wapress.
Alfons, Conny dan dua buah hatinya
Yully dan Yanusa yang ngebut dari airport
Corinna Manangka, teman SMP ku yang jauh-jauh datang sendiri!
Bebe, Ali & Raihan
Dani Wusono
Eva, Hendro, Sekar & Danang
Hendi of Etno Book
Q-Bro &
Daru
Gigin

Tonny Q
Zul Aradia
Teman-teman di Wapress
yang sejak siang sudah kerja keras beberes panggung
Teman-teman dari berbagai media massa
Tim Putri Everest

The Blogspots Community
Teman-teman
jaman UI Ramawamangun & Depok
teman main, teman kerja, teman gaul, teman keluarga, teman di milis dan internet,
pecinta puisi, pecinta musikalisasi...
Semua yang hadir
malam itu dan yang mendoakan agar acara berlangsung lancar
dan selamat dari hantaman hujan...

CINTA KAMI UNTUK KALIAN SEMATA!

Tanpa kalian, kami mungkin masih duduk di ambang jendela,
mengenang masa lalu, tak berbuat apa-apa.


Terima kasih. Amat sangat
Semoga segala kebaikan,
cinta & damai
beserta kalian.
Selalu.

a.r











Monday, January 22, 2007

: becoming dew



Akhirnya, kami berdua punya album sendiri.
(Meminjam istilah Cak Sukardi Rinakit,
kami berdua sudah sampai di tikungan terakhir.
Karena baru sekarang bikin album, padahal sudah nyanyi-nyanyi
nggak karuan dari tahun '82
!)

: become dew - begitu judulnya.
Terambil dari baris terakhir sajak Sapardi Djoko Damono, Don't Tell Me, terjemahan John H. McGlynn dari sajak Jangan Ceritakan.

Di dalamnya ada 11 lagu lain, yang semua terambil dari
sajak-sajak Sapardi Djoko Damono.
Akulah Si Telaga
Kartu Pos Bergambar Jembatan Golden Gate, San Francisco.
Lima Sajak Empat Seuntai
Pada Suatu Hari Nanti
Ketika Kau Tak Ada
Sonnet: X -- juga dalam bahasa Inggris
Pada Suatu Pagi Hari
Metamorfosis
Ketika Berhenti Di Sini
dan sepasang lagu yang sulit buat dilepas --setidaknya sampai sekarang:
Aku Ingin dan Hujan Bulan Juni.

Dari sekian banyak lagu itu, banyak yang lagu lama dan hampir terlupakan karena
tak pernah dinyanyikan. Kami rasa, teman-teman perlu mengenal
lagu-lagu itu. Seperti Ketika Kau Tak Ada, yang komposisinya
dibuat oleh Mimi Larasati. Aslinya lagu ini dibuat untuk piano.
Di album ini digubah untuk gitar.

Kemudian Pada Suatu Pagi Hari dan Metamorfosis yang keduanya
dikomposisi oleh Budiman Hakim. Ya, Budiman Hakim of Macs909 itu.
Di versi asli, dinyanyikan oleh Reda dan Dina Nasution.
Kini Dina sudah berada di Belanda.
Sedangkan Metamorfosis adalah komposisi yang dibuat khusus
untuk Neno Warisman. Di album ini kami ubah sedikit menjadi
komposisi untuk duet.

Lalu ada Lima Sajak Empat Seuntai.
Dulu, tahun 1989 itu, Ari membuatnya dengan sentuhan rock.
Waktu itu tujuannya untuk melengkapi jenis musik yang ada
di album Bulan Apresiasi Sastra. Selain yang bergaya balada, rock pun ada.
Ternyata komposisi itu membuat Pak Sapardi terkaget-kaget.
Dan sejak album Hujan Bulan Juni dirilis tahun 1989, lagu itu
tak berani kami nyanyikan lagi. Takut Pak Sapardi pusing mendengarnya.
Di album ini, lagu itu kembali muncul. Tetapi sudah tidak jadi lagu rock lagi.
AGS Arya Dipayana menjadikannya lagu baru.
(Rane, semoga kau suka dengan komposisi ini...).

Yang agak lain dari album sebelumnya, di sini kami selipkan
dua sajak Pak Sapardi yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris
oleh John H. McGlynn dari Yayasan Lontar.
Don't Tell Me (komposisi lagu: Reda)
dan Sonnet: X (komposisi lagu: Ari).

Dan kemudian album ini ditutup dengan lagu Ketika Berhenti Di Sini,
yang dikomposisi oleh AGS Arya Dipayana.

Nah, dengan lahirnya :becoming dew, kami berdua mengundang teman-teman
untuk merayakan kehadirannya pada hari Jum'at 26 Januari 2007,
di Warung Apresiasi/WAPRES Bulungan, pukul 20.00

Bila sempat, datanglah.

Kami tunggu dengan penuh harap.
ari . reda
ari.reda@gmail.com

CD :becoming dew dapat diperoleh di
  • Warung Apresiasi/WAPRESS, Bulungan
  • Toko Buku Taman Deklamasi, Jose Rizal di Taman Ismail Marzuki
  • Toko Buku Aksara
  • SOHO, Plasa Semanggi
atau langsung hubungi
EKSOTIKA KHARMAWIBHANGGA INDONESIA/EKI
Jl. Padang 30, Jakarta
Telp. 021 831 2377 - email eksotika@indo.net.id
untuk pengiriman langsung


Wednesday, January 3, 2007

Ari Reda: Cerita Kami



Pada suatu hari, di tahun 1982 (bulan Oktober, kalau tidak salah), saya dicegat oleh Pepeng. Ya, Pepeng yang itu! Sangat tidak menyenangkan, karena saya masih ingat betapa galaknya dia waktu mengospek saya sekitar setahun lalu. Terus terang, dalam hati saya berdoa, semoga tidak ada ospek susulan di tengah-tengah semester tiga ini. Saya pantas khawatir, karena cara memanggilnya ya masih sama dengan masa ‘ngerjain’ itu.

“Sini, duduk!” katanya memerintah, matanya melotot. Mau bilang tidak mau, jelas konyol dan cari perkara karena dia melakukannya di depan kantor senat yang banyak manusianya (mereka semua anak-anak Antrop, teman Pepeng, yang suaranya kencang-kencang!). Jadi kalau mau aman, menurut saja. Saya duduk di sampingnya, di emper ruang senat, di pinggir got.

“Elu suka nyanyi, kan? Gue nggak tahu gimana caranya, elu musti nyanyi buat acara gue! Elu nggak boleh nolak, karena pasangan nyanyi elu udah gue siapin!” dia lalu bangun sam­bil menarik tangan saya. Kami masuk ke ruang senat. Di situ, ada banyak teman du­duk, rimbun di sofa yang sudah peyot. Tertawa-tawa, cerita-cerita, nyanyi-nyanyi. Lagu-lagunya saya tidak kenal. Pepeng memberi isyarat agar teman-teman itu me­nying­kir se­di­kit. Dan tiba-tiba, di sofa yang tadinya penuh manusia, sepi. Tinggal seorang teman, be­rambut keriting, main gitar. Tidak peduli dengan sekitarnya. Pepeng menekan bahu saya, mendudukkan saya di sebelah teman itu.


“Reda, ini Ari. Ari, ini Reda. Sejam lagi, kalo gue balik, elu berdua udah musti punya dua lagu buat nyanyi hari Kamis,“ katanya sambil mencangklong tas punggungnya. Pepeng pergi begitu saja. Kerumunan teman-teman sudah diam. Tetapi sekarang mereka me­man­dangi saya dan teman yang bernama Ari ini. Saya tidak tahu musti bilang apa saat itu. Kami tidak bersalaman, tidak bilang hai, tidak bersuara apa-apa. Sekitar setengah menit kemudian, Ari memainkan gitar, lagu
John Denver. Saya ikut menyanyi saja. Ari mengambil suara satu, saya ambil dua. Waktu di baik kedua dia lari ke suara dua, saya ambil suara satu. Di bait lain, waktu dia tetap tak mau pindah dari suara satu, saya menyisip-nyisipkan bait dengan suara yang lain. Begitu sampai selesai. Ari tidak bilang apa-apa. Saya juga. Teman-teman yang tadi memandangi langsung berisik, usul minta dinyanyikan lagu ini, itu, banyak. Beberapa sempat dipenuhi. Lagi-lagi dengan cara bagi suara yang sama. Terjadi begitu saja. Lalu nyanyi-nyanyi berhenti, karena saya ada kuliah.

Sorenya, saya ketemu Pepeng, dia bilang, "Gue denger lu udah kompak sama Ari. Pertunjukkan­nya Kamis sore. Elu sampai sini habis maghrib deh !" Kamis, dua hari lagi. Saya pulang. Besoknya di kampus, saya lihat Ari ada lagi. Nyanyi-nyanyi dan main gitar lagi. Waktu saya lewat di depan­nya, kami cuma saling mengangguk. Lalu hari Kamis tiba. Sejak siang saya lihat Ari sudah di atas panggung kecil bikinan teman-teman Antrop. Mengatur sound. Saya merasa perlu mampir, untuk memastikan, apa betul kami akan menyanyi nanti. Dia bilang, "Ya, habis magrib. Kalau mau latihan lagi, datang jam 5. ". Saya putuskan datang jam 5.

Sorenya, kami ketemu. Duduk di sofa reot itu lagi. Latihan lagu :
Fly Away. Kami musti nyanyi dua lagu. Tapi lagu keduanya, How Can I Leave You Again, Ari bilang biar saya nyanyikan sendiri. Saya panik. Tetapi Ari, ternyata memang suka begitu. Ngomong sekali, lalu Ari Cuma mau nyanyi sekali. Setelah itu dia menghilang. Saya baru melihatnya lagi sekitar lima menit sebelum kami naik panggung. Di panggung, kami menyanyi. Saya deg-degan bukan main. Belum pernah nyanyi seperti itu. Biasanya rombongan (paduan suara ). Kalau pun pernah, jaman TK dulu, di RRI Surabaya. Tapi kan nggak ada yang nonton! Cuma Bu Guru yang mencontohkan gaya. Ibu saya saja jarang ikut nongol di studio. Ini… LAIN! Kaki saya bergetar. Selesai dua lagu, kami turun. Saya pulang setelah acara selesai. Diantar Ari, Pepeng, Ace, Toha, Konar dan Jeffry (orang Hadralmaout yang masuk sastra Rusia dan sekarang sudah jadi dosen di FIB).

Itu kali pertama bertemu Ari. Setelah itu, saya sering melihatnya bersama anak-anak Antrop. Saya pikir dia FISIP karena kalau Antrop, saya pasti tahu dia jauh hari sebelumnya. Setiap kali kami sempat ketemu, paling-paling kami cuma manggut-manggut. Paling banter, dia bilang, "Kuliah, Red ?" Saya mau bilang apa lagi kecuali, ya.

Sebetulnya, terus-terang banget nih, saya sangat senang bisa menyanyi dengan Ari. Suaranya bagus. Lalu dia banyak mengajarkan pada saya lagu-lagu baru yang tidak pernah saya dengar sebelumnya. Bahkan beberapa lagu tidak pernah saya dengar aslinya sampai belasan tahun kemudian. Seperti
Junk, Luck of The Irish, Sweet Baby James, Streets of London, Wind Flowers, Funny Little Man, She’s Leaving Home (yang ini memang kebangetan, kok bisa-bisanya saya nggak tahu lagu Beatles –kenyataannya memang begitu. Saya nggak paham lagu Beatles sama sekali!). Banyak lah.

Ari suka jengkel dengan keterbatasan pengetahuan saya tentang lagu. Dia bilang, bisa nyanyi kok nggak tahu lagu. Lha, bagaimana: lagu yang saya tahu, dia tidak tahu (karena lagu yang saya tahu aliran tua banget!
Ricky Nelson, Neil Sedaka, Pat Boone, Frank Sinatra, Matt Monroe... ELVIS! Kenapa bisa begitu? Tanyakan pada Bapak dan Ibu saya). Di jaman awal pertemanan kami, Ari bisa hilang mood menyanyi dan latihan karena saya betul-betul buta lagu yang dia maksud. Tapi belakangan dia tahu, bahwa tiada guna memaksa saya tahu lagu yang dia mau. Kalau memang itu mau dinyanyikan, baiknya dia menyanyikannya saat kami latihan. Toh, meski saya tak tahu lagu aslinya, kami tetap bisa menyanyi duet. Malah orang bilang kami punya paduan suara yang ajaib (ya ajaib, karena si pengisi suara dua tidak tahu lagu aslinya! Ngawur nian lah!).

Nyanyi kedua bersama Ari, di Pasar Seni Ancol. Pepeng membuat grup
GM SELO (Gerak Musik Seloroh). Fotonya yang ada di kanan atas itu. Untuk acara ini Ari memilih lagu Simon & Garfunkel (Boxer) juga Bee Gees (Give the best to your friends). Kami latihan dua hari karena saya tidak tahu lagu yang dimaksud. Amalia Shadily, Konar dan Ace pemasok lirik lagu.

Saya gemetaran lagi nyanyi di Pasar Seni. Untung semua berjalan lancar. Malah dilempari duit dan rokok segala. Senang juga. Malamnya saya pulang lewat jam 23.00. Gerbang rumah sudah digembok. Ari membantu saya melompati pagar.


Ibu dan Bapak sebetulnya kurang suka saya nyanyi-nyanyi. Mana di Pasar Seni pula. Saya bilang ini pada Pepeng. Dan apa yang ia lakukan ? Pepeng main ke rumah, ngobrol dan bercanda dengan ibu saya. Ari diajak juga. Di situ Ari main gitar sampai sore. Hati ibu saya meleleh. Sejak hari itu, exit permit selalu diberikan, sepanjang saya menyanyi sama Ari. Tapi terus terang Bapak saya tetap kurang senang. Dia terpaksa setuju karena menganut satu paham untuk semua: kalau Ibu sudah putuskan, ia harus menurut. Demikian pula sebaliknya.


Ari, siapa ?

Ari ternyata bukan anak Antrop. Saya tahu ini setelah dua bulan kenalan. Ari anak Akademi Pimpinan (atau pemimpin) Perusahaan di Srengseng. Waktu kami kenalan, dia sedang menyusun skripsi (tapi baru kelar sekitar tiga tahun kemudian – kebanyakan nyanyi !). Ari indekost di Tebet. Saya baru tahu lokasi tempat ia tinggal setelah kami menyanyi sekitar empat tahunan. Yang lucu, setiap kali ada acara yang berhubungan dengan FSUI, tempat saya kuliah, status Ari selalu baru. Kadang-kadang kami bilang Ari anak Sastra Jepang (kalau yang mengundang Sastra Prancis). Kalau diundang sastra Inggris, kami bilang dia anak sastra Jawa! Tapi kalau
diundang FISIP, ah tenang! Mereka kenal dan cinta Ari mati-matian.


Repertoar

Sejak main di Pasar Seni, Pepeng rajin memberi job. Kami sering main di kampus-kampus. UI, sudah pasti. Kami langganan muncul di Student Nite-nya FISIP, hampir setiap tahun. Ketika kampus pindah ke Depok dan acara berpindah jadi Saturday Off, kami main juga di sana (terus main sampai saya hampir melahirkan anak pertama!). Juga di acara anak FSUI (sekarang FIB UI), Fpsikologi, FHUI. Lalu UKI, IKJ, Trisakti...

Lagu yang kami bawakan adalah balada dan lagu-lagu protes
Dylan, Simon & Garfunkel, Joan Baez, Joni Mitchell, James Taylor, John Lennon, Beatles, Bee Gees... Dari semua itu, kami paling sering membawakan nomor Simon & Garfunkel. Pertama, syairnya bagus. Kedua, paduan suaranya sangat indah. Kalau istilah Dharmawan, suara kawin tapi orang marahan (karena meski suara bersatu padu, tetapi penyanyinya tidak pernah saling menoleh/saling pandang).

Kami sempat jadi bintang tamu beberapa acara seru. Seperti
Si On Chantait, festival lagu Prancis di CCF. Lalu ikutan menjadi pengisi acara peresmian kampus UI Depok. Menyanyi di Teater Dalam Gang, menyanyi untuk ulang tahun Pak Teguh Karya. Sejak ia masih sehat hingga ulang tahun terakhir, sebelum ia pergi… Yang masih berhubungan dengan Pak Teguh juga : pernah ia diminta membuat pertunjukan untuk TPI. Untuk acara nyanyi, dia minta Ari Reda muncul. Saya sedang hamil, masuk bulan ke delapan ! Saya bilang ke Pak Teguh : Nanti penonton TPI sesak napas lihat ibu-ibu hamil menyanyi begini. Bagaimana kalau diganti orang lain saja ? Eh, dia marah. Bersama Ari, dia ngotot saya harus menyanyi. Dan muncullah kami berdua. Dan seperti yang saya duga, penonton banyak yang bingung dan sesak napas : siapa perempuan hamil yang menyanyi, membuat layar televisi penuh dengan perutnya ?


Langkah selanjutnya

Dari tahun 1982 sampai 2004, sudah tak terhitung berapa ratus kali kami main. Ari bilang, kalau duet kami disamakan dengan perkawinan, pasti kami berdua punya anak yang besar-besar. Sudah kuliah, Ri !

Pada satu ketika, tiba-tiba saya sempat merasa jenuh dengan duet kami. Mungkin karena kami terus menyanyikan lagu orang. Ari – tampaknya – juga demikian. Ia sempat bergabung dengan grup
Pahama. Saya nyaris tidak menyanyi selama setahun, sampai akhirnya diajak oleh AGS Arya Dipayana, membantunya dalam proyek Pekan Apresiasi Seni, 1987, yang diprakarsai oleh Fuad Hassan -- Menteri Pendidikan & Kebudayaan paling top (dari saat itu hingga sekarang, rasanya!) dan Pusat Pengembangan Bahasa Indonesia.

Di situ, saya diminta menyanyikan dua lagu yang digubah dari puisi-puisi karya penyair terkenal Indonesia:
Toto Sudarto Bachtiar (Gadis Peminta-minta) dan Gunawan Mohammad (Di Beranda Ini Angin Tak Kedengaran Lagi). Ada lima puisi yang dilagukan. Konon kabarnya album mini itu kemudian disebarkan di sekolah-sekolah untuk apresiasi sastra. Konon lagi, disukai dan sukses. Maka tahun berikutnya, dibuat lagi hal yang sama. Tapi sekarang ganti nama: Bulan Apresiasi Sastra, 1988. Saat itu, saya pikir Ari harus ikut. Dan ia setuju karena kebetulan Pahama sedang tak terlalu aktif.

Proyek ini menghasilkan sekitar 25 lagu dengan memakai puisi dari lebih banyak penyair lagi. Saat itu yang paling banyak dibuat komposisinya adalah sajak-sajak
Sapardi Djoko Damono. Ari Reda kebagian menyanyikan Aku Ingin dan Hujan Bulan Juni.

Aku Ingin, ya Aku Ingin yang muncul di
Cinta Dalam Sepotong Roti, dikerjakan oleh AGS Arya Dipayana. Pada saat harus rekaman, kami berdua tak tahu seperti apa lagu yang dibuat oleh AGS. Kami pasrah, berharap agar lagu tidak terlalu sulit untuk digarap malam itu juga (terlanjur ada jadwal rekaman).

Begitu AGS datang, kami duduk di bawah pohon Mangga (satu-satunya pohon besar di halaman studio Harmoni, di Paseban). Mendengarkan lagu yang dimainkan AGS pakai gitar. Ari meminjam gitar dari AGS, mencoba memainkannya sambil bertanya-tanya. AGS lalu teringat ia membawa catatan chord lagunya. Muncullah sebuah kotak korek api cap duren. Dibuka, dan bagian dalamnya ada tulisan. Kode chord lagu. Syair tertulis di sebuah kertas kecil, robek dan kusut. Kami berdua menyanyikannya. Dan saat itu juga menemukan paduan suara yang seperti Anda kenal sekarang (kalau kata Pak Sapardi, yang pertama itu justru lebih ajaib lagi... semoga ajaib di sini berarti baik/bagus).


Hujan Bulan Juni dibuat oleh Umar Muslim. Lagunya sangat melodius dengan chord yang sangat manis. Kalau kata pakar gitar: sangat teratur, rapih dan mulus.

Album BAS yang disebar luaskan dan berakhir menjadi kaset wajib anak SMA yang ingin ikut lomba musikalisasi pada tahun itu, konon kabarnya sangat diminati. Sukses. Lagunya enak-enak. Dari sini, kemudian Sapardi Djoko Damono menawarkan membuat album yang memusikalisasi puisinya. Kami semua setuju. Album itu berjudul
Hujan Bulan Juni, 1989. Ari Reda kembali ikut.

Album sempat dicetak beberapa kali. Habis. Dan rupanya memang banyak yang suka. Sejak saat itu, kami mulai melepas lagu Simon & Garfunkel. Setiap kali main, kami jadi sering diminta membawakan lagu Aku Ingin, Hujan Bulan Juni…

Tahun 1996, grup Hujan Bulan Juni ini manggung di TIM, Graha Bhakti Budaya. Ramai sekali. Dan bersaman dengan itu, satu lagi album musikalisasi puisi diluncurkan. Judulnya Hujan Dalam Komposisi. Kami menyanyi lagi. Di sini ada lagu kesukaan kami berdua,
Pada Suatu Hari Nanti.

Kami berdua terus menyanyi bersama. Rekaman sendiri, sampai sekarang tak kunjung muncul, meski sempat terpikirkan beberapa kali untuk membuat. Bahkan kami pernah punya demo tape berisi 5 lagu buatan sendiri (sekarang satu pun tak ada yang saya ingat lagunya!) dan pernah kami bawakan di program TVRI Chandra Kirana, atas dorongan Diah Iskandar.


Hari ini

Kami sempat tidak bertemu dan menyanyi selama hampir dua tahun. Ari sibuk dengan berbagai projek, sedangkan saya dan Nana membuat album
Gadis Kecil (Juni tahun 2005). Tak lama setelah Lebaran 2006, di acara Iwan Abdulrahman kemarin, kami baru kembali berkumpul. Lalu kami bertemu lagi, dilanjutkan dengan omong-omong, berandai-andai, bagaimana kalau menyanyi kembali. Setelah duduk-duduk, bicara-bicara plus rokok-merokok, minum jahe, teh poci, mengunyah kencur –didorong Eddie Jambul, AGS Arya Dipayana, Dharmawan Handonowarih, Ade Latief… kami memutuskan untuk buat rekaman.

Dalam waktu 12 hari, rekaman selesai. Dan sekarang siap diluncurkan.

Lalu harapan kami pun mengangkasa :
Semoga segalanya berjalan baik untuk hari-hari mendatang..

Mohon doa restunya.